27 Juni 2007

Negeri Keretek ini Marlboro's Country

Alasan sampoerna melepas sahamnya

Alasan penjualan saham sampoerna ke Philip Morris masih menjadi misteri besar. Maklum, kondisi pabrik rokok ini sedang bagus. Apa langkah Putra setelah mengantongi duit sekitar Rp 18 triliun.

Bagus Marsudi
--------------------------------------------------------------------------------

Sejak awal pekan ini kursi Direktur Utama PT HM sampoerna terasa kesepian. Michael Joseph Sampoerna, 27 tahun, pemilik kursi itu empat tahun belakangan, tiba-tiba enggan mendudukinya. Tampaknya, itulah ungkapan kekecewaannya terhadap sang ayah, Putra Sampoerna, yang menjual saham miliknya pada Philip Morris Internasional. Nilainya top benar: Rp 18,6 triliun, lebih besar dari dana kompensasi BBM yang kini diributkan.

Mendung kesedihan tak cuma menaungi si anak bungsu kelahiran Houston, Texas. Senin 14 Maret lalu, senggukan tangis dan mata sembap banyak ditemui di lantai 16,17, dan 18 di Plaza Bapindo. Gelombang keterkejutan bukan cuma melanda karyawan, melainkan kabarnya juga menjangkiti para direksi. Beberapa waktu lalu, menurut seorang karyawan Sampoerna, memang sempat ada pembicaraan aksi Philip Morris ini. Namun, tak seorang pun menduga eksekusinya begitu cepat.

Konon, hanya kalangan komisaris yang tahu pasti soal rencana akuisisi terbesar di negeri ini. Kata sumber tersebut, Kamis pekan lalu, Michael diminta segera ke Singapura. Di sana, Putra memberi tahu soal rencana penjualan saham warisan engkong Liem Seeng Tee itu kepada jawara koboi dari Amerika. Hari Minggu, atas permintaan ayahnya, Michael mengumpulkan keluarga besarnya di Surabaya. Saat itulah, secara resmi, kabar rencana penjualan saham diberitahukan pada segenap keluarga. Jelas saja, kabar ini bak petir di siang bolong.

Reaksi beragam juga muncul dari berbagai kalangan. "Bukan basa-basi. Dapat rezeki kok enggak dibagi-bagi," ungkap Ismanu Semiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) setengah berkelakar. Muhaimin Moefti, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), tak kalah kaget. "Saya masih belum mendapat informasi jelas soal akuisisi ini," ujarnya ketika ditanyai soal proses penjualan yang selama ini terkesan tertutup rapat.

Philip Morris ingin meraja di Indonesia

Banyak orang bertanya-tanya, ada apa di balik penjualan saham berjuluk HMSP di bursa itu kepada Philip Morris International? Tentu sayang, jika industri rokok yang selama ini sudah menjadi ikon tradisi asli Indonesia mesti jatuh ke tangan asing. Tapi, ada pula yang yakin bahwa peristiwa ini bakal menjadi pertanda baik bagi bisnis rokok keretek. "Ini bisa menjadi jembatan industri rokok keretek untuk go global," tutur Ismanu.

Pihak Philip Morris mengaku bahwa salah satu alasan untuk masuk bisnis rokok keretek lantaran pasar dalam negeri cukup gede, sekitar 92% dari total konsumsi rokok. "Jika ingin menjadi pemain rokok besar di Indonesia, kami harus masuk ke industri rokok keretek," ungkap Matteo Pellegrini, Presiden Philip Morris Asia Pacific. Kesamaan filosofi manajemen dan produk premium dengan merek yang sudah dikenal luas menjadi pertimbangan utama. "Ini sesuai dengan strategi global kita untuk pasar Indonesia," tambahnya.

Kendati begitu, alasan sampoerna menjual saham itu belum terkuak benar. Para petinggi HM sampoerna seolah satu suara: diam. "Tanya langsung ke Pak Putra," begitu pesan singkat Djoko Susanto, salah satu direktur. Niken Rachmad, Kepala Bidang Komunikasi PT HM Sampoerna, mengungkapkan bahwa penjualan saham ini merupakan pilihan terbaik. Soalnya, produsen Marlboro itu juga menawar dengan harga tinggi. Soal alasan yang sebenarnya, "Itu urusan pemegang saham. Saya tak bisa menjawab karena hanya mewakili perusahaan," kilahnya.

Menurut informasi yang diperoleh KONTAN, proses negosiasi yang tersimpan cukup rapat ini tak lepas dari peran Putra sampoerna sebagai pemegang saham pengendali. Saham mayoritas yang dipegang oleh Dubuis Holding (33,28%) diduga Putra langsung yang mengendalikan. Itu belum termasuk beberapa saham yang ikut diperdagangkan di bursa. Kemungkinan besar, Budi sampoerna lewat PT Lancar sampoerna Bestari (5,34%) juga ikut mendukung penjualan saham ini. Harga tinggi Rp 10.600 per saham yang ditawarkan Philip Morris jelas saja menggiurkan.

Ada, memang, kabar soal perbedaan pendapat di tengah keluarga Sampoerna, sehingga akhirnya si babe patah arang. Tapi, sepanjang yang didengar KONTAN, transaksi ini semata-mata didasarkan atas pertimbangan bisnis. Beban industri rokok dianggap sudah cukup berat. Regulasi soal HJE (harga jual eceran) dan cukai beberapa tahun terakhir bisa jadi masih terkendali. Tapi ke depan, boleh jadi makin menggila. "Pak Putra kan berpikir ke depan. Mungkin lebih baik beban itu ditanggung pemilik baru," ucap sumber KONTAN mengulang ucapan seorang komisaris.

Maklum, di industri rokok keretek, sampoerna sulit dibilang berjaya. Permintaan terbesar rokok masih dipegang jenis SKM (sigaret keretek mesin). Dalam pasar ini, Gudang Garam dan Djarum jauh lebih berkuasa. Yang bisa diandalkan sampoerna adalah jenis SKT (sigaret keretek tangan) lewat Dji Sam Soe dan sampoerna Hijau. Di produk SKT premium ini, sampoerna layak diperhitungkan.

Toh, langkah bidak Putra sampoerna ini tetap menghasilkan tanda tanya besar. Benarkah bisnis rokok keretek mulai memasuki senja kala? Ismanu menampik anggapan ini. Menurutnya, dalam 10 tahun ke depan bisnis rokok keretek tetap akan bersinar. "Pasar rokok akan terus terjadi regenerasi," tandasnya. Terbukti penjualannya tiap tahun selalu naik. Regulasi yang kini jalan pun masih dalam kadar wajar. Cuma, lantaran ini bisnis yang khas, sejatinya tak semua investor bisa masuk ke bisnis ini.

+++++
Berkelit Ketika Terjepit

Bisnis rokok, boleh dibilang, tergolong sektor bisnis terlarang. Lihat saja, di banyak negara, produk ini dikenai cukai yang tak bisa dibilang kecil. Tentu saja, alasan utamanya, agar produk rokok tak bisa beredar bebas. Di kawasan yang memiliki standar hidup dan kesehatan tinggi seperti Amerika dan Eropa, industri rokok jadi bulan-bulanan. Bukan cuma regulasi dibikin ketat. Pemasangan iklan dan penjualannya pun dibatasi.

Beberapa perusahaan rokok besar semacam Philip Morris terbilang rajin menuai gugatan. Maret ini, misalnya, pengadilan Madison County, Illinois, menghukum Philip Morris sebesar US$ 12 miliar lantaran iklannya dituding menyepelekan dampak buruk merokok. Tak cuma itu, Altria, induk perusahaan Philip Morris, juga terlilit kasus serupa di pengadilan Jefferson County, Mississippi, dan West Virginia.

Lantaran terjepit di banyak negara, bukan tak mungkin Philip Morris, produsen Marlboro dan L&M ini, mengincar Indonesia yang lebih berjaya dengan rokok kereteknya. Tapi, mungkinkah dia bakal menggeser orientasi bisnisnya dengan melirik ke pasar rokok keretek? Matteo Pellegrini, Presiden Philip Morris Asia Pacific, mengelak dugaan itu. Menurutnya, kebijakan strategi global perusahaannya adalah mengembangkan pasar rokok. Melihat karakteristik pasar rokok di Indonesia, mau tidak mau PMI juga menyesuaikan diri. "Kita melihat peluang cukup besar dalam industri rokok keretek," tuturnya.

Dengan pendapatan bersih sekitar Rp 9 triliun pada tahun lalu, tentu saja prospek bisnis sampoerna menggiurkan pihak asing. Masalahnya, karakteristik keretek dan rokok putih agak lain. Rokok keretek bernuansa padat karya, sebaliknya dengan rokok putih. Maka, kemungkinan adanya efisiensi dan perampingan organisasi bisa saja terjadi. Itu berarti ancaman bagi industri padat karya itu. Inilah yang dikhawatirkan oleh banyak pihak. "Jika datang sebagai kawan, kita welcome. Tapi, bila datang untuk menjajah, kita akan berjuang agar mereka hengkang," tandas Ismanu Semiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri).

John Mosman, salah satu mitra pemasok rokok untuk Sampoerna, juga berharap hal itu tak terjadi. "Kita berharap tak ada perubahan yang drastis dengan adanya pembelian saham ini," katanya.

Catatan: Artikel ini saya tulis 21 Maret 2005, tak seberapa lama setelah secara resmi HM. Sampoerna dibeli oleh Phillip Morris. Dengan keterbatasan sumber dan informasi soal transaksi itu, akhirnya artikel ini sedikit menguak fakta dibalik penjualan HM. Sampoerna.

Tidak ada komentar: