29 Juni 2007

Adu Kuat Memikat Pengisap Asap

Sampoerna dan Gudang Garam meluncurkan produk baru

HM Sampoerna membidik kelas rokok filter dengan mengeluarkan Marlboro Mix 9. Gudang Garam berusaha masuk pasar mild dengan Surya Slims. Butuh waktu lama untuk meyakinkan perokok.

Bagus Marsudi

Memasuki paruh kedua tahun babi ini, beberapa perusahaan meyakini sebagai saat yang tepat untuk meluncurkan produk baru. Awal Juli ini, Hanjaya Mandala (HM) Sampoerna sudah ancang-ancang bakal meluncurkan produk rokok baru. Tanggal yang dipilih tak jauh dari angka yang oleh pemilik lamanya dianggap keramat. Yakni angka 9. Kalau tak ada aral melintang, tanggal 9 Juli nanti, rokok baru HM Sampoerna dilempar ke pasar.

Uniknya, produk baru perusahaan yang kini milik Phillip Morris ini tak menggunakan nama besar Sampoerna seperti jamaknya. Bloomberg awal pekan ini membocorkan bahwa nama rokok kretek filter (rokok kretek mesin) justru menggunakan nama produk sang induk, yakni Marlboro yang selama ini dikenal sebagai penguasa rokok putih. Jika tak berubah pada hari-hari terakhir, rokok Sampoerna nanti bakal bernama Marlboro Mix 9.

Marlboro kretek, begitulah nantinya nama ini bakal tertanam di benak para penghisap asap untuk membedakan produk Marlboro regular (full flavor) maupun menthol (mild flavor). Produk ini jadi bukti janji Phillip Morris saat mengakuisisi saham Putra Sampoerna dua tahun silam. "Jika ingin menjadi pemain rokok besar di Indonesia, kami harus masuk ke industri rokok kretek," ujar Matteo Pellegrini, Presiden Philip Morris Asia Pacific pada KONTAN kala itu.

Mungkinkah Marlboro Kretek menjadi produk uji coba Phillip Morris untuk menancapkan merek terkenal mereka pada penikmat asap hasil olahan antara tembakau dan cengkeh? Rupanya tak sesederhana itu. Sumber KONTAN yang tahu benar soal industri rokok menyebutkan bahwa munculnya Marlboro Kretek tak lepas dari upaya strategi HM Sampoerna untuk menjadi penguasa pasar rokok kretek Indonesia sekaligus para pesaingnya.

Kalau dicermati spesifikasi produk baru Sampoerna ini, langsung ketahuan siapa yang menjadi sasaran bidikan sesungguhnya. Dengan kemasan isi 12 batang dan kandungan tar 30 mg, nikotin 1,8 mg, harga eceran Marlboro Kretek ini diperkirakan Rp 7.000 per pak. “Itu kan setara dengan Gudang Garam Surya dan Djarum Super,” tandas sang sumber. Di kelas rokok kretek mesin, dua produk itu menjadi penguasa pasar.

Asal tahu saja, sejak beberapa tahun terakhir, Sampoerna yang lebih kuat di rokok kretek tangan (SKT) lewat Dji Sam Soe dan rokok kretek mesin (SKM) jenis mild lewat A Mild sudah berupaya masuk ke pasar SKM full flavor (filter) ini. Sebut saja produk A International sampai yang terakhir Sampoerna Eksklusif. “Tapi, semuanya gagal total,” ujar sumber KONTAN itu. Kedigdayaan Gudang Garam dan Djarum belum tergoyahkan.

Modal gede dan jaringan luas bukan jaminan

Kini, usaha kesekian kalinya Sampoerna menerobos SKM filter yang diperkirakan menguasai hampir setengah dari pasar rokok di Indonesia ini bertumpu pada Marlboro Kretek. Siapa tahu, merek global jauh lebih tok cer. Apalagi, produk ini didukung oleh jaringan penjualan Sampoerna yang sampai ke pelosok. Yang juga tak kalah penting, Marlboro Kretek ini disokok oleh riset baik dari Phillip Morris maupun pengalaman Sampoerna meracik kretek.

Usaha untuk melakukan penetrasi ke pasar rokok kretek dengan mengeluarkan produk baru ini juga dilakukan oleh Gudang Garam. Pabrikan rokok asal Kediri yang selama ini mengandalkan produk filter dan lintingan untuk kesekian kali mencoba mencari keberuntungan di kelas mild flavor. Kalau tak molor, Agustus nanti, Gudang Garam diperkirakan juga bakal meluncurkan rokok mild baru bernama Surya Slims.

Sekali lagi, ini bukan langkah pertama Gudang Garam masuk kelas mild. Sebelumnya sudah ada Signature dan Nusantara. Cuma, target yang dibidik adalah kelas atas. Padahal, produk mild lain seperti A Mild, Star Mild, LA Light, dan Class Mild mengerubung kelas anak muda. Nah, rupanya Gudang Garam memilih membuat produk baru untuk membidik kelas lebih rendah ketimbang merevisi produk mild yang telah dibuatnya.

Ini kentara dari format yang dipakai. Kalau Signature dan Nusantara, meski jenisnya mild, fisik rokoknya tetap gemuk dan pendek. Surya Slim cenderung mengikuti format yang beredar di pasar: lebih kurus dan panjang. Jumlahnya juga tak sebanyak pendahulunya. Dengan kemasan terlihat ringkas, Gudang Garam mengisi satu pak dengan 12 batang rokok. Tampaknya Surya Slims menjadi tumpuan Gudang Garam mengembalikan dominasinya di pasar SKM.

Hanya saja, berbekal merek terkenal, modal besar, jaringan pemasaran luas, dan rasa khas saja tampaknya tak menjamin bakal diterima pasar. Ismanu Semiran, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Kretek Indonesia (GAPPRI) menandaskan bahwa konsumen rokok kretek punya karakteristik unik. “Masing-masing pengisap punya fanatisme terhadap rasa tertentu. Rasa baru harus bisa bersaing dengan rasa yang sudah melekat di mulut perokok,” ujarnya.

Makanya, Ismanu tak khawatir kehadiran rokok Marlboro Kretek maupun Surya Slims bakal mengubah dengan cepat pasar rokok kretek. “Butuh waktu bertahun-tahun sebelum diterima pasar,” ungkapnya. Tapi, Ismanu juga punya harapan besar dengan masuknya Marlboro ke kretek. Dengan mengandalkan jaringan pemasaran global, produk itu bisa jadi duta kretek di dunia. “Rokok kretek lain juga bisa terkerek untuk go internasional,” tandasnya.

Sayangnya, baik pihak HM. Sampoerna maupun Gudang Garam menutup rapat segala informasi berkaitan dengan produk barunya itu. Sampoerna, misalnya, meminta KONTAN menunggu sampai saat peluncuran resmi produk itu. Sedang pihak Gudang Garam susah dihubungi.

Tabel:
Para Penguasa Segmen Rokok*

Rokok Putih (7%)
• Full Flavor
 Marlboro (PM)
 Lucky Strike & Ardath (BAT)
 Country (Bentoel)
• Low Flavor/ Mild
 Marlboro Menthol (PM)
 Esse (KT&G)

Rokok Kretek (93%)
SKT (Rokok kretek tangan/ lintingan) (34%):
• Dji Sam Soe & Sampoerna Hijau (HMS)
• Gudang Garam Merah (GG)
• Djarum Coklat & 76 (Djarum)
• Bentoel Biru & Sejati (Bentoel)
SKM (Rokok kretek mesin / filter) (59%):
• Full Flavor/ kretek filter** (46%)
 Surya & International (GG)
 Djarum Super (Djarum)
 Exclusive (HMS)
 Marlboro Mix 9 (HMS)
• Low Flavor/ Mild*** (13%):
 A Mild & U Mild (HMS)
 Star Mild (Bentoel)
 LA Light, X Mild, Black, & Mezzo (Djarum)
 Class Mild (Nojorono)
 Signature & Nusantara (GG)
 Surya Slims (GG)

*Berdasarkan riset dan hasil wawancara KONTAN
**Kadar tar niknya 30mg tar, 1,8 mg nik
***Kadar tar niknya: 12-15 mg tar, 0,8-1mg nik

27 Juni 2007

Jurus 369 Membidik Kiani

Di balik pembelian saham Sumalindo

Setelah negosiasi dengan Bank Mandiri buntu, dikabarkan keluarga sampoerna mengincar Kiani Kertas lewat Sumalindo. Benarkah hal ini merupakan babak baru bisnis sampoerna di perkayuan?

Bagus Marsudi
--------------------------------------------------------------------------------

Langkah keluarga sampoerna memutar duit hasil penjualan kepemilikan pabrik rokok HM sampoerna dua tahun silam selalu menarik disimak. Ke manakah mereka akan menyalurkan duit sebanyak Rp 18,6 triliun?

Bulan lalu, rumor terbaru keluarga sampoerna beredar di kalangan pasar modal. Beberapa sumber KONTAN menyebutkan bahwa Putra sampoerna masuk ke bisnis perkayuan. Caranya tidak dengan mendirikan perusahaan baru, tapi melalui PT Sumalindo Lestari Jaya. Sumalindo ini perusahaan terbuka bekas milik Grup Astra yang sejak Agustus 2002 dikuasai PT Sumber Graha Sejahtera (SGS).

Isyarat masuknya keluarga sampoerna ini tersirat dari perkembangan yang dialami Sumalindo beberapa bulan terakhir. Mei lalu, Sumalindo berencana melakukan pemecahan saham (stock split). Eh, pertengahan Juni silam rencana berubah. Sumalindo memutuskan menambah saham baru lantaran ada kreditur yang pengin mengkonversi utang (debt swap) menjadi saham. Nilainya Rp 92,95 miliar. Sebagai gantinya, kreditur itu mendapatkan 92,95 juta saham dari 841,3 juta saham yang sudah ada.

Langkah ini belum selesai. Akhir Juni 2006, Sumalindo menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS) yang salah satu agendanya adalah mengegolkan rencana penerbitan saham baru kedua sebanyak 155,71 juta saham. Nilainya Rp 155,7 miliar. Menurut keterangan resmi perusahaan, sebagian (40%) dana bakal dipakai memperkuat modal perusahaan, 12,5% untuk mengakuisisi perusahaan lain, dan selebihnya untuk membayar utang.

Sampai di sini mungkin tak ada yang istimewa. Tapi, jika dikuak lebih lebar, langkah Sumalindo yang begitu cepat itu rupanya dipicu oleh masuknya kreditur yang sekarang sudah menjadi salah satu dari tiga pemegang saham terbesar di perusahaan itu. Siapa mantan sang kreditur itu? Kepada otoritas bursa, Sumalindo menyebut kreditur itu sebagai sebuah perusahaan asing. Namanya Three Six Nine Limited (369 Ltd.). Nama yang cukup aneh dan misterius.

Kinerja Sumalindo masih kembang kempis

Justru lantaran aneh itu banyak kalangan menyigi siapa pemilik perusahaan itu. Beberapa analis yang penasaran dan menggali dari berbagai sumber mengarahkan pendapatnya pada satu dugaan: perusahaan 369 itu ada kaitannya dengan keluarga Sampoerna. Alasannya, angka itu terbilang "angka keramat" yang sering dipakai dalam bisnis Sampoerna. Setelah angka 234 (Djie Sam Soe) dilepas ke Philips Morris, kini muncul 369 (Sam Liok Kioe) yang menghasilkan angka 9 kembar.

Tak ada penjelasan pasti, apa yang membuat angka itu disebut keramat dan mengarah ke keluarga Sampoerna. Asal tahu saja, di bisnis rokok kretek, angka tersebut sudah dipakai pabrik rokok Sumber Makmur di Bojonegoro. Produk andalannya adalah Special Sam Liok Kioe, dengan kemasan luar mirip dengan sampoerna Executive yang dua tahun lalu sempat beriklan gede-gedean. Apakah ini ada kaitannya dengan keluarga Sampoerna? Terlalu dini untuk menyimpulkan ke arah itu.

Lantas, mengapa sampoerna membidik perusahaan perkayuan seperti Sumalindo? Padahal, dari sisi kinerja perusahaan, perusahaan itu belum mengalami perkembangan berarti. Penjualan tiga tahun terakhir memang menunjukkan kenaikan. Kalau tahun 2003 penjualannya mencapai Rp 690 miliar, tahun lalu membukukan Rp 829 miliar. Tapi, perusahaan belum mencatat laba bersih memuaskan. Tahun 2004 memang meraup Rp 163 miliar. Namun, tahun 2005 cuma mendapatkan Rp 700 juta.

Kondisi itulah yang membuat banyak kalangan menduga bahwa sampoerna menjadikan Sumalindo sebagai sasaran antara. Lantas, apa sasaran utamanya? Ada yang menyebut PT Kiani Kertas. Tampaknya sampoerna tetap mengincar pabrik kertas peninggalan Bob Hassan itu setelah negosiasi dengan Bank Mandiri mandek tahun lalu. Ada peluang untuk masuk lagi, bukan sebagai investor penyelamat yang bakal menggelontorkan duit, melainkan sebagai kreditur Kiani.

Beberapa tahun terakhir Sumalindo merupakan salah satu pemasok bahan baku kayu bagi industri bubur kertas (pulp) Kiani. Bukan cuma lantaran lokasi HPH (hak pengelolaan hutan) dekat dengan Kiani. Selain membuat produk olahan, rupanya Sumalindo juga memasok kayu gelondongan ke Kiani, seiring dengan meningkatnya kebutuhan kayu untuk memenuhi pesanan pulp. Bersama be-berapa perusahaan lain, Sumalindo masuk setelah pemasok utama, PT Tanjung Redeb Hutani, tak mampu memenuhinya.

Repotnya, sejak terbelit masalah keuangan dua tahun terakhir, Kiani juga mengalami kesulitan untuk membayar tagihan para pemasoknya. Tahun lalu, misalnya, diperkirakan tunggakan Kiani ke pemasok bahan baku kayu mencapai US$ 165 juta. Tak jelas benar, berapa besar porsi tagihan Sumalindo.

Nah, peluang untuk mengincar Kiani pun makin besar jika sampoerna punya porsi cukup diperhitungkan di Sumalindo. Makanya, dengan cuma mengantongi sekitar 10% dari total saham yang ada saja tak cukup. Ada anggapan, dengan penerbitan saham baru kedua mulai bulan ini, sampoerna bakal menambah porsi, baik dengan opsi sebagai salah satu pemegang saham maupun sebagai standby buyer.

Begitulah skenario cerita yang berkembang di pasar. Seru. Namun, Hidayat, staf Hubungan Investor Sumalindo, menampik kabar masuknya keluarga sampoerna lewat 369 Ltd. "Kabar seperti itu bisa saja datang dari mana-mana," kilahnya. Tapi, sejauh ini tidak ada investor strategis yang masuk ke Sumalindo. Kabar bahwa sampoerna bakal menampung saham baru yang dikeluarkan Sumalindo pun ditampiknya. "Kami belum bisa memastikannya. Soalnya, kami masih melakukan proses right issue," tambahnya.

Tanggapan mengagetkan justru keluar dari Eka Dharmajanto Kasih, orang kepercayaan Putra Sampoerna. Eka menampik bahwa keluarga sampoerna dihubungkan dengan keberadaan 369 Ltd di Sumalindo. "Itu bukan kita," tuturnya singkat. Yang benar justru sampoerna punya porsi kepemilikan saham di PT Sumber Graha Sejahtera, pemegang mayoritas saham Sumalindo. "Jumlahnya tak banyak, kok," ungkapnya.

Eka juga menepis anggapan bahwa sampoerna tetap mengincar Kiani. "Enggak, kita sudah tak tertarik lagi," ungkapnya.

+++++
Menebak Jejak Sampoerna

Menebak langkah keluarga sampoerna sebanding dengan menduga sepak terjang Gus Dur. Butuh kemampuan luar biasa. Bukan cuma langkahnya sulit ditebak, benar tidaknya pun masih melayang-layang. Itulah yang membuat banyak spekulasi berada di sekitar kabar sepak terjang keluarga Sampoerna. Coba ingat jejak langkah keluarga sampoerna setelah melego perusahaan rokok HM Sampoerna. Sampai sekarang tak semua paham kenapa Putra sampoerna mengambil langkah itu.

Setelah duit di tangan pun orang masih bertanya-tanya, duitnya mau taruh di mana? Ada yang bilang sebagian bakal dipakai untuk membangun pabrik gula di Papua. Kabar beredar, investasi yang ditanamkan di Merauke sebesar US$ 170 juta dengan kapasitas produksi sebesar sejuta ton per tahun. Tapi, meski pemerintah telah berkomitmen menyediakan lahan 300.000 ha, niat ini sampai sekarang tak jelas.

Sampoerna juga dikabarkan bakal masuk bisnis jalan tol. Sasarannya tol Trans Java di jalur pantura. Tapi, kabar terakhir sampoerna malah menawar untuk membeli tol Cipularang dari Jasa Marga. Itu pun tak jelas juntrungannya. Begitu pula dengan rencana untuk mendapatkan konsesi pengelolaan hutan di Kalimantan. Departemen Kehutanan sampai repot-repot menyiapkan lahan 1,3 juta ha. Eh, yang terjadi malah sampoerna mengincar Kiani Kertas dengan menyediakan dana sebesar US$ 401 juta.

Jejak bisnis sampoerna di luar negeri juga mencengangkan. Akhir tahun lalu dikabarkan sampoerna mengambil alih kasino Les Ambassadeurs di London senilai 115 juta poundsterling. Tak cuma itu, Sam-poerna juga dikabarkan sudah mengambil alih Mansion, perusahaan judi dan kasino yang berpusat di Gibraltar, Spanyol. Bahkan, dia siap untuk jadi sponsor utama Manchester United dengan kontrak senilai 60 juta poundsterling. Tapi, belakangan gagal lantaran kalah dengan AIG.

Bisnis yang sudah pasti, keluarga sampoerna telah membeli Gedung Danamon di Sudirman senilai US$ 80 juta dari Grup Panin. Lantas, gedung itu dinamai sampoerna Strategic Square. Selain itu, lewat Twinwood Venture Ltd., sampoerna juga mengibarkan bisnis komunikasi di frekuensi CDMA 450 MHz dengan mengambil alih 58% saham PT Mandara Seluler Indonesia.

Catatan: Sepak terjang Putra Sampoerna menanamkan duitnya mendasari tulisan ini. Kabar bahwa dia masuk ke bisnis perkebunan berusaha dijawab dengan artikel yang terbit 24 Juli 2006 ini.

Kabar Angin dari Kediri

Di balik rumor penjualan Gudang Garam

Meski belum terbukti kebenarannya, kabar penjualan Gudang Garam ke BAT bukan tanpa alasan. Lantaran bisnis rokok mulai meredup atau imbas perpecahan keluarga?

Bagus Marsudi
--------------------------------------------------------------------------------

Berita penjualan perusahaan rokok HM sampoerna ke tangan Philip Morris, dua tahun silam, rasanya belum meredup. Sampai sekarang, banyak orang masih penasaran ke mana keluarga sampoerna menaruh uang hasil penjualan sebesar Rp 18,6 triliun. Nah, pekan lalu ada berita serupa yang tak kalah bikin heboh, datang dari Gudang Garam. Rumor di pasar modal menyebutkan: perusahaan rokok keretek terbesar di Indonesia itu telah beralih tangan dari keluarga Wonowidjojo ke British American Tobacco (BAT), raksasa rokok putih dunia asal Inggris.

Namanya juga rumor. Tak jelas asalnya. Tapi kabar ini berimbas pada perdagangan saham di bursa. Setelah bertahan di harga Rp 9.200-Rp 9.400 per saham, dua pekan lalu, harga saham Gudang Garam menanjak jadi Rp 9.850 per saham (21/7). Tiga hari kemudian, harganya anjlok lagi ke kisaran Rp 9.200. Dan Selasa 8 Agustus lalu, harganya turun lagi jadi Rp 9.100 persaham. Entahlah, apakah ini hanyalah aksi gorengan sesaat ataukah membuktikan bahwa rumor itu memang sekadar angin lalu. (Lihat juga halaman 11 tentang kinerja saham Gudang Garam)

Pada paparan publik akhir Juli 2006, manajemen Gudang Garam sebetulnya sudah resmi membantah rumor itu. "Hingga saat ini, kami tidak tahu-menahu mengenai rencana penjualan perseroan," begitu penjelasan Heru Budiman, Direktur dan Sekretaris Perusahaan Gudang Garam. Tapi, bisa jadi orang menginterpretasikan, manajemen boleh saja tak tahu menahu, sementara para pemegang saham kan bisa saja terus berunding.

Walhasil, selentingan penjualan Gudang Garam tetap berembus. Kali ini spekulasi orang tertuju pada kinerja Gudang Garam yang tak semencorong sebelumnya. Pada semester pertama tahun ini, penjualan Gudang Garam anjlok, hanya mencapai Rp 12,7 triliun, lebih rendah 12% ketimbang periode yang sama tahun lalu. Dengan angka tersebut, target penjualan tahun ini diperkirakan bakal berkutat di sekitar angka perolehan tahun lalu, sebesar Rp 24,8 triliun.

Memang, terlalu dini untuk bilang tahun ini Gudang Garam bakal rugi. Tapi, hampir pasti, keuntungannya akan turun. Apalagi, Gudang Garam mengeluhkan beban komponen pita cukai yang mencapai kenaikan 10,2% ketimbang tahun lalu. Jika tahun 2005, Gudang membayar pita cukai sebesar Rp 6,978 triliun, semester ini saja pengeluarannya sudah bengkak menjadi Rp 7,698 triliun. Kalau dihitung, komponen pita cukai dan pajak pertambahan nilai (PPN) yang harus dibayar Gudang Garam mencapai 74,9% dari total omzetnya.

Sebenarnya, kemerosotan penjualan rokok tak cuma dialami oleh Gudang Garam. Data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Seluruh Indonesia (GAPPRI) menyebutkan, secara nasional penjualan secara nasional pada semester I 2006 ini memang 12% lebih rendah ketimbang semester pertama tahun lalu. Celakanya, sejak Desember lalu, pangsa pasar Gudang Garam turun dari 30% menjadi 29,5%.

Pasar rokok Indonesia jadi incaran

Merosotnya kinerja Gudang Garam, apalagi lantaran pasarnya digerogoti oleh para pesaing, menimbulkan spekulasi keluarga Wonowidjojo sudah capek mengurusi Gudang Garam. Hal ini memperkuat isu penjualan Gudang Garam.

Penelusuran KONTAN dari lingkaran industri rokok tak mendapatkan titik cerah. Wadah yang menaungi industri rokok tak mendengar kabar ini. Muhaimin Moefti, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), meragukan kabar BAT bakal masuk Gudang Garam. "Dalam kondisi sekarang ini, mustahil BAT melakukan langkah itu," ujar Muhaimin yang mantan Komisaris BAT Indonesia itu. Apalagi, tandasnya, karakteristik BAT sangat beda dengan pesaing abadinya, Philip Morris, yang lebih dulu mencaplok HM Sampoerna.

Namun, tak bisa disangkal, kemungkinan masuknya investor asing ke industri rokok tetap terbuka. Dengan pasar rokok Indonesia yang unik, Muhaimin meyakini bahwa pabrikan rokok di Indonesia tetap jadi sasaran incaran. Dari pengalaman bertahun-tahun di industri rokok putih, pabrikan rokok sekelas BAT dan Philip Morris selalu gagal menguasai pasar rokok nasional. "Akhirnya mereka sadar, cara menguasai pasar Indonesia adalah dengan masuk ke rokok keretek," tuturnya.

Masalahnya, untuk menguasai pasar, mesti mencari sasaran yang pas. Ini yang susah. Maklum, selain padat karya, industri rokok keretek umumnya merupakan bisnis keluarga. Kendati sudah berstatus perusahaan terbuka, pengelolaannya masih bersifat kekeluargaan. Masih untung Philip Morris, ketika memilih HM Sampoerna, mengaku cocok dengan manajemen modern yang sudah diterapkan Putra Sampoerna. Nah, sebagian besar pabrik keretek umumnya bertahan pada manajemen tradisional keluarga yang cenderung tertutup.

Dus, sebagai penguasa pasar rokok keretek di Indonesia, Gudang Garam termasuk sasaran empuk investor yang ingin menguasai pasar rokok di Indonesia. Cuma, apakah keluarga Wonowidjojo berani melepas bisnis yang menjadi pusaka keluarga? Muhaimin tak yakin jika Gudang Garam bakal dilepas begitu saja. "Selama ini mereka selalu untung," ujarnya. Kecuali kalau ada faktor X. Nah, untuk saat ini, faktor itu masih tergolong misteri.

+++++
Redupnya Generasi Kedua

Kalau tidak ada Gudang Garam, Kediri gelap dan tidak punya pamor. Itulah keyakinan sebagian besar penduduk Kediri sampai sekarang. Bekas pusat kerajaan Hindu Kuno ini memang tidak termasuk jalur utama kota-kota besar di Jawa Timur. Kalaupun mesti lewat Kediri, itu lantaran harus memotong jalan dari Nganjuk ke Trenggalek. Tapi, berkat Surya Wonowidjojo atau Tjoa Ing Hwie, Kediri menjadi salah satu kota penting di Jawa Timur saat ini. Selain itu, napas sebagian warganya bergantung pada perusahaannya: pabrik rokok Gudang Garam.

Tjoa Ing Hwie dibawa ayahnya dari Fukien, Tiongkok, ke Madura ketika berumur tiga tahun. Ditinggal mati sang ayah, masa mudanya dihinggapi kesengsaraan. Awalnya, ia bekerja di pabrik rokok "93" milik pamannya. Lantas, dengan sedikit modal dari hasil kerja kerasnya, Surya mendirikan pabrik rokok keretek Gudang Garam. Berkat keuletannya, Gudang Garam berkembang menjadi perusahaan rokok terbesar di Indonesia dan menyumbang lebih dari seperempat pendapatan cukai pemerintah.

Setelah meninggal pada Agustus 1985, estafet kepemimpinan perusahaan keluarga diserahkan pada Rachman Halim, sang sulung. Di tangan generasi kedua ini, kejayaan Gudang Garam berlanjut. Keluarga Wonowidjojo bergelimang kekayaan. Mereka pun beberapa kali menjadi pembayar pajak pribadi terbesar di Indonesia. Padahal, Surya dulu dikenal sebagai tauke bersahaja dan dermawan kepada buruh.

Belakangan malah santer terdengar terjadi perpecahan dalam keluarga Wonowidjojo. Dua adik Rachman, Sumarto dan Susilo, kabarnya tak akur sama sang kakak. Padahal, mereka sama-sama memegang posisi penting dalam manajemen perusahaan. Entahlah, apa yang jadi biang persoalan.

Yang terang, dibandingkan dengan pesaingnya, keluarga Wonowidjojo termasuk kurang ekspansif mengembangkan bisnis baru di luar rokok. Lihat saja jejak bisnis keluarga sampoerna dan keluarga Hartono (Djarum) di berbagai sektor.

Sebenarnya, lima tahun silam, Gudang Garam pernah mau ekspansi ke produk rokok putih dan mild. Mereka sudah menyiapkan alat modern di pabrik barunya di Pasuruan. Untuk memproduksi rokok putih, Gudang Garam menggandeng produsen rokok terbesar keempat sedunia dari Jerman, Reemtsma Cigarettenfabriken GmbH, pemilik pabrik Davidoff. Tapi, rencana itu gagal di tengah jalan lantaran sengketa merek. Sebagai gantinya, Gudang Garam mengeluarkan mild Nusantara. Tapi, penjualannya tidak memuaskan.

Inikah tanda-tanda meredupnya generasi kedua keluarga Wonowidjojo?

Catatan: Tulisan yang terbit 14 Agustus 2006 ini berusaha menjawab rumor kencang akuisisi terhadap pabrik rokok terbesar di Indonesia. Sampai saat ini memang rumor itu belum terbukti.

Negeri Keretek ini Marlboro's Country

Alasan sampoerna melepas sahamnya

Alasan penjualan saham sampoerna ke Philip Morris masih menjadi misteri besar. Maklum, kondisi pabrik rokok ini sedang bagus. Apa langkah Putra setelah mengantongi duit sekitar Rp 18 triliun.

Bagus Marsudi
--------------------------------------------------------------------------------

Sejak awal pekan ini kursi Direktur Utama PT HM sampoerna terasa kesepian. Michael Joseph Sampoerna, 27 tahun, pemilik kursi itu empat tahun belakangan, tiba-tiba enggan mendudukinya. Tampaknya, itulah ungkapan kekecewaannya terhadap sang ayah, Putra Sampoerna, yang menjual saham miliknya pada Philip Morris Internasional. Nilainya top benar: Rp 18,6 triliun, lebih besar dari dana kompensasi BBM yang kini diributkan.

Mendung kesedihan tak cuma menaungi si anak bungsu kelahiran Houston, Texas. Senin 14 Maret lalu, senggukan tangis dan mata sembap banyak ditemui di lantai 16,17, dan 18 di Plaza Bapindo. Gelombang keterkejutan bukan cuma melanda karyawan, melainkan kabarnya juga menjangkiti para direksi. Beberapa waktu lalu, menurut seorang karyawan Sampoerna, memang sempat ada pembicaraan aksi Philip Morris ini. Namun, tak seorang pun menduga eksekusinya begitu cepat.

Konon, hanya kalangan komisaris yang tahu pasti soal rencana akuisisi terbesar di negeri ini. Kata sumber tersebut, Kamis pekan lalu, Michael diminta segera ke Singapura. Di sana, Putra memberi tahu soal rencana penjualan saham warisan engkong Liem Seeng Tee itu kepada jawara koboi dari Amerika. Hari Minggu, atas permintaan ayahnya, Michael mengumpulkan keluarga besarnya di Surabaya. Saat itulah, secara resmi, kabar rencana penjualan saham diberitahukan pada segenap keluarga. Jelas saja, kabar ini bak petir di siang bolong.

Reaksi beragam juga muncul dari berbagai kalangan. "Bukan basa-basi. Dapat rezeki kok enggak dibagi-bagi," ungkap Ismanu Semiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) setengah berkelakar. Muhaimin Moefti, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), tak kalah kaget. "Saya masih belum mendapat informasi jelas soal akuisisi ini," ujarnya ketika ditanyai soal proses penjualan yang selama ini terkesan tertutup rapat.

Philip Morris ingin meraja di Indonesia

Banyak orang bertanya-tanya, ada apa di balik penjualan saham berjuluk HMSP di bursa itu kepada Philip Morris International? Tentu sayang, jika industri rokok yang selama ini sudah menjadi ikon tradisi asli Indonesia mesti jatuh ke tangan asing. Tapi, ada pula yang yakin bahwa peristiwa ini bakal menjadi pertanda baik bagi bisnis rokok keretek. "Ini bisa menjadi jembatan industri rokok keretek untuk go global," tutur Ismanu.

Pihak Philip Morris mengaku bahwa salah satu alasan untuk masuk bisnis rokok keretek lantaran pasar dalam negeri cukup gede, sekitar 92% dari total konsumsi rokok. "Jika ingin menjadi pemain rokok besar di Indonesia, kami harus masuk ke industri rokok keretek," ungkap Matteo Pellegrini, Presiden Philip Morris Asia Pacific. Kesamaan filosofi manajemen dan produk premium dengan merek yang sudah dikenal luas menjadi pertimbangan utama. "Ini sesuai dengan strategi global kita untuk pasar Indonesia," tambahnya.

Kendati begitu, alasan sampoerna menjual saham itu belum terkuak benar. Para petinggi HM sampoerna seolah satu suara: diam. "Tanya langsung ke Pak Putra," begitu pesan singkat Djoko Susanto, salah satu direktur. Niken Rachmad, Kepala Bidang Komunikasi PT HM Sampoerna, mengungkapkan bahwa penjualan saham ini merupakan pilihan terbaik. Soalnya, produsen Marlboro itu juga menawar dengan harga tinggi. Soal alasan yang sebenarnya, "Itu urusan pemegang saham. Saya tak bisa menjawab karena hanya mewakili perusahaan," kilahnya.

Menurut informasi yang diperoleh KONTAN, proses negosiasi yang tersimpan cukup rapat ini tak lepas dari peran Putra sampoerna sebagai pemegang saham pengendali. Saham mayoritas yang dipegang oleh Dubuis Holding (33,28%) diduga Putra langsung yang mengendalikan. Itu belum termasuk beberapa saham yang ikut diperdagangkan di bursa. Kemungkinan besar, Budi sampoerna lewat PT Lancar sampoerna Bestari (5,34%) juga ikut mendukung penjualan saham ini. Harga tinggi Rp 10.600 per saham yang ditawarkan Philip Morris jelas saja menggiurkan.

Ada, memang, kabar soal perbedaan pendapat di tengah keluarga Sampoerna, sehingga akhirnya si babe patah arang. Tapi, sepanjang yang didengar KONTAN, transaksi ini semata-mata didasarkan atas pertimbangan bisnis. Beban industri rokok dianggap sudah cukup berat. Regulasi soal HJE (harga jual eceran) dan cukai beberapa tahun terakhir bisa jadi masih terkendali. Tapi ke depan, boleh jadi makin menggila. "Pak Putra kan berpikir ke depan. Mungkin lebih baik beban itu ditanggung pemilik baru," ucap sumber KONTAN mengulang ucapan seorang komisaris.

Maklum, di industri rokok keretek, sampoerna sulit dibilang berjaya. Permintaan terbesar rokok masih dipegang jenis SKM (sigaret keretek mesin). Dalam pasar ini, Gudang Garam dan Djarum jauh lebih berkuasa. Yang bisa diandalkan sampoerna adalah jenis SKT (sigaret keretek tangan) lewat Dji Sam Soe dan sampoerna Hijau. Di produk SKT premium ini, sampoerna layak diperhitungkan.

Toh, langkah bidak Putra sampoerna ini tetap menghasilkan tanda tanya besar. Benarkah bisnis rokok keretek mulai memasuki senja kala? Ismanu menampik anggapan ini. Menurutnya, dalam 10 tahun ke depan bisnis rokok keretek tetap akan bersinar. "Pasar rokok akan terus terjadi regenerasi," tandasnya. Terbukti penjualannya tiap tahun selalu naik. Regulasi yang kini jalan pun masih dalam kadar wajar. Cuma, lantaran ini bisnis yang khas, sejatinya tak semua investor bisa masuk ke bisnis ini.

+++++
Berkelit Ketika Terjepit

Bisnis rokok, boleh dibilang, tergolong sektor bisnis terlarang. Lihat saja, di banyak negara, produk ini dikenai cukai yang tak bisa dibilang kecil. Tentu saja, alasan utamanya, agar produk rokok tak bisa beredar bebas. Di kawasan yang memiliki standar hidup dan kesehatan tinggi seperti Amerika dan Eropa, industri rokok jadi bulan-bulanan. Bukan cuma regulasi dibikin ketat. Pemasangan iklan dan penjualannya pun dibatasi.

Beberapa perusahaan rokok besar semacam Philip Morris terbilang rajin menuai gugatan. Maret ini, misalnya, pengadilan Madison County, Illinois, menghukum Philip Morris sebesar US$ 12 miliar lantaran iklannya dituding menyepelekan dampak buruk merokok. Tak cuma itu, Altria, induk perusahaan Philip Morris, juga terlilit kasus serupa di pengadilan Jefferson County, Mississippi, dan West Virginia.

Lantaran terjepit di banyak negara, bukan tak mungkin Philip Morris, produsen Marlboro dan L&M ini, mengincar Indonesia yang lebih berjaya dengan rokok kereteknya. Tapi, mungkinkah dia bakal menggeser orientasi bisnisnya dengan melirik ke pasar rokok keretek? Matteo Pellegrini, Presiden Philip Morris Asia Pacific, mengelak dugaan itu. Menurutnya, kebijakan strategi global perusahaannya adalah mengembangkan pasar rokok. Melihat karakteristik pasar rokok di Indonesia, mau tidak mau PMI juga menyesuaikan diri. "Kita melihat peluang cukup besar dalam industri rokok keretek," tuturnya.

Dengan pendapatan bersih sekitar Rp 9 triliun pada tahun lalu, tentu saja prospek bisnis sampoerna menggiurkan pihak asing. Masalahnya, karakteristik keretek dan rokok putih agak lain. Rokok keretek bernuansa padat karya, sebaliknya dengan rokok putih. Maka, kemungkinan adanya efisiensi dan perampingan organisasi bisa saja terjadi. Itu berarti ancaman bagi industri padat karya itu. Inilah yang dikhawatirkan oleh banyak pihak. "Jika datang sebagai kawan, kita welcome. Tapi, bila datang untuk menjajah, kita akan berjuang agar mereka hengkang," tandas Ismanu Semiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri).

John Mosman, salah satu mitra pemasok rokok untuk Sampoerna, juga berharap hal itu tak terjadi. "Kita berharap tak ada perubahan yang drastis dengan adanya pembelian saham ini," katanya.

Catatan: Artikel ini saya tulis 21 Maret 2005, tak seberapa lama setelah secara resmi HM. Sampoerna dibeli oleh Phillip Morris. Dengan keterbatasan sumber dan informasi soal transaksi itu, akhirnya artikel ini sedikit menguak fakta dibalik penjualan HM. Sampoerna.

Ke Mana Petambak dipasena Mau Dibawa?

Mengintip rencana usaha pemilik baru dipasena terhadap para petambak

Rencana usaha CP Prima sebagai pemilik baru dipasena menjadi sorotan. Salah satunya soal perjanjian kerjasama dengan petambak dituding terlalu sewenang-wenang.

Bagus Marsudi, Aprillia Ika
--------------------------------------------------------------------------------

Setelah menjadi juragan baru Dipasena Citra Darmaja (Dipasena), Central Proteinprima (CP Prima) menjadi terkesan lebih menjadi perusahaan tertutup ketimbang terbuka. Mengorek informasi dari anak perusahaan Charoen Pokphand itu sama sekali tak mudah. Begitu pula menebak langkah ke depan yang bakal dilakukan pada Dipasena. Ibaratnya, semua masih misterius dan tersembunyi.

Kesan ini tak cuma terasa oleh media. Bapepam, otoritas pengawas bursa pun mengeluhkan serupa. Sampai hari Rabu ini, CP Prima belum juga menyerahkan laporan resmi seputar transaksi pembelian Dipasena dari Perusahaan Pengelola Aset (PPA) akhir Mei lalu. Menurut Hurhaida, Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil Bapepam-LK, CP Prima belum memberi penjelasan lengkap. “Mereka hanya menjelaskan secara formal saja,” katanya.

Tak cuma itu, kerisauan lebih besar justru menghinggapi ribuan petambak udang Dipasena. Pasalnya, setelah Neptune dinyatakan sebagai pemilik baru Dipasena, para petambak justru resah. Mereka merasakan nasib ke depan bakal bakal lebih suram. Semangat untuk mengembangkan tambak yang mulai bangkit dua tahun terakhir kembali surut. Tanda-tandanya sudah terlihat sejak beberapa hari sebelum pengumuman pemenang tender dibacakan.

Menurut informasi yang didapat KONTAN, perwakilan petambak sempat menyambangi para calon investor Dipasena saat proses tender sedang berjalan. Niatnya cuma satu. Mereka mengharapkan ada kesepakatan dengan calon investor untuk tetap mendukung perjanjian kerja sama (PKS) yang saat ini sudah jalan. Para plasma itu diwakili oleh kepala kampung dan Lembaga Manajemen Plasma Kampung (LMPK) sebagai wadah para petambak.

Sebelumnya, akhir April 2007, PT Kemilau International sudah lebih dulu meneken nota kesepahaman dengan Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW). Intinya, jika menang, Kemilau bakal tetap menganggap plasma sebagai mitra untuk mengembangkan Dipasena. Nota yang diteken oleh Triyanto dan Heru Cahyono dari Kemilau dan Parjono dan Agus Sumarno dari P3UW itu jelas membuat petambak lebih tenang.

Tapi, kondisi itu tak bisa didapat ketika bertemu dengan CP Prima. Menurut sumber KONTAN, pertemuan antara perwakilan petambak dan CP Prima sama sekali tak mendapatkan titik temu. CP Prima enggan membuat komitmen apa pun dengan petambak. “Mereka juga mengabaikan wadah plasma yang selama ini mewakili kepentingan petambak,” ujar sang sumber. Sehari sebelum hasil tender, petambak kembali ke Tulangbawang dengan tanda tanya besar.

Nah, setelah ketahuan pemenangnya CP Prima, petambak semakin penasaran untuk lebih mengorek penyebab CP Prima mengambil jarak dengan petambak. Ternyata, dari rencana usaha (business plan) yang diajukan ke PPA, terkuak bagaimana rencana CP Prima memperlakukan para plasma. Dalam rancangan perjanjian kerja sama yang bakal ditawarkan CP Prima, petambak tak punya banyak pilihan untuk tetap bisa bertahan di Dipasena.

Posisi plasma bakal lebih lemah
Dalam salah satu bagian dari rencana usaha mengenai Perjanjian Kerja sama Inti Plasma, CP Prima dengan tegas bakal memberlakukan PKS baru. Perjanjian ini bakal dibuat secara sepihak oleh perusahaan dan plasma tinggal memutuskan untuk setuju dan tidak setuju. Hanya yang setuju yang bakal tetap bertahan di Dipasena. Yang ditentukan oleh CP Prima tak cuma menyangkut hak dan kewajiban plasma, tapi juga harga hasil panen para petambak.

Pola PKS CP Prima ini jelas ditentang oleh para Kepala Kampung dan LMPK yang selama ini mewadahi para plasma. “PKS itu jelas mengembalikan Dipasena pada zaman Sjamsul Nursalim,” ujar Thowilun, Ketua LMPK Bumi Dipasena Utama. Pasalnya, sejak tahun 2002, pemerintah lewat BPPN dan dilanjutkan PPA berusaha menerapkan pola kemitraan dengan para plasma. “Kalau PKS itu diberlakukan, itu berarti langkah mundur,” tandasnya.

Dengan perjanjian yang terpusat pada perusahaan (inti), menurut Thowilun, posisi plasma bakal lemah. Apalagi, dalam rancangan PKS CP Prima, wadah plasma semacam LMPK sama sekali diabaikan. “Jika plasma langsung berhadapan dengan perusahaan berbadan hukum, posisi tawarnya sangat tidak kuat,” tuturnya. Selama ini, posisi plasma cukup kuat lantaran bergabung dalam wadah semacam LMPK dan P3UW.

Tampaknya, CP Prima bakal menerapkan pola inti plasma yang selama ini sudah diterapkan pada anak perusahaannya, PT Central Pertiwi Bahari (dulu Barata) yang letaknya persis di sebelah selatan Dipasena, hanya dipisahkan oleh sungai Tulangbawang. Yang diterapkan pada sekitar 7.000 petambak itu memang meniru pola PKS inti plasma milik Sjamsul Nursalim sebelum tahun 2000. Pada saat itu banyak orang Dipasena hijrah ke Barata.

Kalau sekarang pola serupa bakal diterapkan kembali pada Dipasena, bagi CP Prima itu merupakan pilihan masuk akal. Sebagai pemilik baru Dipasena, CP Prima ingin mengamankan rencana bisnisnya tanpa harus direpotkan oleh tuntutan dari para petambak. Apalagi, di Dipasena, CP Prima bakal menanamkan duitnya senilai triliunan rupiah. Jika tak mengambil risiko gagal, CP Prima mesti tegas menjalankan rencana bisnisnya.

Apalagi, menurut informasi yang diperoleh KONTAN, perjuangan plasma Dipasena untuk menerapkan PKS dengan nuansa kemitraan di era pemilik baru ini sangat ditunggu oleh ribuan petambak di Central Pertiwi Bahari. “Mereka sedang mengadakan pembaruan PKS. Jadi, kalau kita berhasil, mereka juga akan menuntut yang sama,” tandas sumber KONTAN.

Tapi, langkah itu bukannya tak membawa risiko lebih gede. Menurut Thowilun, para plasma sudah sepakat untuk menolak perjanjian yang bertentangan dengan PKS terbaru yang telah diselesaikan pada Oktober 2006. “PKS 2006 itu sudah dianggap ideal dan didukung oleh banyak pihak. Seharusnya itu dulu yang dijalankan,” tandasnya. Jika CP Prima tetap memaksakan kehendaknya, “Kita akan kembali membuat perlawanan seperti dulu,” tegasnya.

Yang disesalkan oleh para plasma, PPA yang semula mendukung PKS 2006, ternyata tetap meloloskan rencana usaha CP Prima (Neptune) untuk menggunakan PKS terbaru. “Harusnya jika komitmen PPA masih sama dengan yang dulu, mereka akan menolak rencana usaha yang bertentangan dengan program PPA sendiri,” ujar Thowilun. Sayangnya, sampai tulisan ini diturunkan, Raden Pardede, Wakil Dirut PPA enggan memberi tanggapan.

CP Prima pun seolah seia sekata. Rizal Shahab, Direktur Komunikasi Perusahaan berjanji bakal menjawab pertanyaan KONTAN secara tertulis. “Saya akan jawab lewat email,” pesannya. Tapi, yang diberikan cuma release media yang sempat disebar awal Juni ini. Semakin rajin menyimpan, semakin bersliweran kabar liar. Bahkan, kadang-kadang bercampur dengan bau busuk

Catatan: Ini tulisan asli saya di edisi KONTAN minggu III Juni 2007. Versi publikasi lebih ringkas lantaran keterbatasan halaman. Secara tak sengaja, salah satu sumber tulisan ini ternyata pernah saya temui langsung di Dipasena empat tahun silam.

Menabur Benur di Dipasena

Tambak dipasena setelah diambil alih BPPN

BPPN memutuskan untuk mengelola sendiri bekas aset Sjamsul Nursalim di Dipasena. Kini sedang dibangun kembali kemitraan plasma dan inti. Bisa jadi dipasena bakal pulih kembali.

Bagus Marsudi
--------------------------------------------------------------------------------

Di siang yang terik menyengat itu Towilun sering mengukir senyum bangga. Tanpa diminta, dia melempar jaring ke tambak udang yang dikelolanya. Segerombolan udang berhasil didapatkan. Dengan hati-hati, dia tunjukkan beberapa contoh si bongkok hasil jerih payahnya satu setengah bulan terakhir. Yang melihat tak henti memuji udang Towilun. Beberapa malah mengungkapkan keyakinannya bahwa dua bulan lagi Towilun bakal panen besar.

Towilun hanyalah satu di antara sekitar 1.700 petambak dari dua desa di Bumi Dipasena, Lampung, yang sejak Juni lalu menyepakati program kemitraan praintensif antara petambak sebagai plasma dan dipasena Citra Darmaja sebagai inti. Ini tahap baru hubungan petambak dan dipasena setelah selama lima tahun terakhir seolah tak ada titik temu. Untuk tahap awal, dua desa akan menjadi proyek percontohan. Enam desa lain menyusul berikutnya.

Langkah ini tak lepas dari peran pemerintah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sesuai dengan keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Maret 2001, pemerintah sepakat merestrukturisasi kredit petambak udang dan berusaha merehabilitasi kondisi Dipasena. Salah satunya adalah menghidupkan kembali pola kemitraan antara plasma dan inti dengan paradigma lebih gres.

Apakah BPPN sudah menjadi juragan tambak? Secara teori: ya. BPPN mengelola bekas aset Sjamsul Nursalim lewat perusahaan Tunas Sepadan Investama. Pengelola tambak udang yang disebut-sebut sebagai terbesar di Asia Tenggara itu rencananya bakal dijual. Tapi, "Kondisinya belum memungkinkan. Bisa jadi tak ada investor yang mau masuk," ungkap Franklin Richard, Kepala Humas BPPN.

Kunci untuk memulihkan kondisi areal tambak seluas 16.250 ha ini, ujar Franklin, adalah merestrukturisasi utang petambak dari bank asal (BDNI). Bersamaan dengan itu, dibuatlah sistem kemitraan plasma dan inti yang didasarkan pada prinsip transparansi. "Kita ingin ada aktivitas pertambakan di sana," tandasnya. Dengan melihat potensi yang besar, dipasena bakal dilirik lembaga keuangan dan investor.

Inti tak lagi bisa menentukan harga

Banyak kepentingan di balik pulihnya Dipasena. Pemerintah berharap bisa menjual dipasena suatu hari nanti dengan harga tinggi. Setelah lima tahunan melepas ikatan dengan inti, petambak pun butuh modal kerja untuk menambak. Jika petambak kembali menjalin kemitraan plasma inti, dipasena bisa memaksimalkan infrastruktur pengolahan udang terpadu.

Asal tahu saja, di Bumi dipasena ada fasilitas lengkap untuk pertambakan. Mulai dari produksi benur, pabrik pakan, jasa pengerukan kanal, cold storage, sampai kapal angkut peti kemas untuk ekspor ke Singapura. "Lima tahun terakhir kapasitas yang ada tak bisa digunakan secara maksimal," kata Agus Tito, Manajer Humas Dipasena. Sementara tak ada udang dari plasma, fasilitas itu dipakai untuk mengolah udang produksi PT Wachyuni Mandira, tetangganya.

Nah, untuk menggerakkan aktivitas Dipasena, kedua pihak sepakat membangun pola baru kemitraan inti dan plasma. Pola ini berbeda dengan pola lama yang dijalankan sampai 1997. Saat itu peran inti terlalu kuat. Pasalnya, inti mengambil peran dominan, mulai dari awal proses penyebaran benur sampai penjualan udang. Plasma tak diikutsertakan dalam semua proses itu, kecuali memelihara udang di tambak.

Dalam pola baru, semua yang menyangkut proses pertambakan melibatkan baik plasma dan inti. Prinsip transparansi, saling percaya, tanpa saling merugikan mendasari hubungan kemitraan ini. Inti diwakili kelompok kerja (pokja) yang bertanggung jawab langsung ke direksi. Petambak diwakili manajemen plasma yang menjadi bagian dari struktur desa. "Posisi antara inti dan plasma setara," ungkap Towilun, yang juga Sekretaris Manajemen Plasma Desa Utama.

Langkah awal yang kini sedang dibangun pokja dan manajemen plasma adalah menjalankan tahap praintensif. "Dua tahun ini kami menyiapkan pola kerja sama yang intensif," kata Andi Wijaya, Ketua Pokja. Maklum, lima tahun terakhir pengelolaan tambak tak terkoordinasi. Petambak membeli benur, pakan dari luar, dan hasil panen dibeli orang luar. Nah, pola ekstensif ini bakal dikembalikan pada pola intensif.

Dalam tahap ini, disepakati petambak bakal mendapatkan modal usaha untuk operasi tambak. Selain untuk modal kerja, petambak juga mendapatkan biaya hidup bulanan plasma (BHBP). Pengembaliannya bakal dilunasi setelah penjualan hasil udang. Sementara ini, pemeliharaan udang masih memakai cara ekstensif, menunggu kucuran dana untuk perbaikan kicir angin, dan pompa air.

Setelah meneken perjanjian kerja sama yang materinya sudah disepakati bersama, petambak akan mendapat 15.000 ekor benur berumur 36-45 hari seharga Rp 35 per benur untuk tiap tambak seukuran 40 m X 50 m. Harga pakan dan biaya operasional (listrik, perbaikan kanal, pintu dam, dan tower air) disepakati maksimal Rp 150.000 per bulan. Untuk BHPB, tiap plasma mendapat Rp 650.000 per bulan yang bakal diperhitungkan saat panen.

Semua kebijakan dari inti yang menyangkut petambak dibicarakan bersama dengan manajemen plasma. Bahkan, pasokan benur dan pakan ke petambak mesti sepengetahuan manajemen plasma. Tujuannya, data kewajiban plasma tak cuma dipegang inti. "Kami sendiri punya data yang sewaktu-waktu bisa dicek silang," ungkap Waras, salah seorang petambak. Tiap petambak dan manajemen plasma punya laporan tentang kewajiban dan hasil panen yang didapat.

Bagaimana kalau terjadi silang pendapat yang tak ada titik temu? Menurut Suprapto, Ketua Badan Pertimbangan Kampung Utama, tiap pihak sekarang tak bisa mau menang sendiri. "Kami sadar bahwa satu sama lain saling membutuhkan. Kalau petambak gagal, inti juga rugi," katanya. Makanya, dalam pembicaraan, tiap pihak saling menunjukkan kondisi yang sesungguhnya. Bahkan, menurut Andi, petambak kini tahu secara telanjang hitung-hitungan produksi benur, pakan, sampai penjualan.

Dari pengamatan KONTAN di lapangan, pola kemitraan ini ditanggapi antusias oleh sebagian besar petambak. Pasalnya, mereka punya persoalan yang sama: tak punya modal kerja untuk menambak maupun memelihara sarana pertambakan. Misalnya, mendapat benur dan pakan bagus dan mengeruk kanal. Dengan harapan besar, mereka menyambut baik kemitraan setara yang didorong juga oleh pemerintah.

Akankah Bumi dipasena semeriah dahulu? Waktulah yang bakal menunjukkan.

+++++
Hidup Prihatin selama Sewindu

Tak banyak yang tahu, di pelosok Lampung Timur berkembang satu komunitas seramai kota kecil. Di Rawa Jitu, daerah yang diampit sungai Tulangbawang dan Mesuji, berdiri megah permukiman, pabrik, kantor, dan pertambakan yang luasnya puluhan ribu hektare. Aliran listrik belum masuk ke kampung sekitarnya, tapi Bumi dipasena tak pernah gelap gulita. Ada generator yang menerangi daerah sekitar 90 km dari jalur lintas timur Sumatera ke arah Laut Jawa.

Secara historis dipasena masuk Rawajitu Selatan tahun 1988. Setahun kemudian, pertambakan udang yang disebut sebagai terbesar di Asia Tenggara itu mulai beroperasi dengan pola tambak inti rakyat (TIR). Petambak jadi plasma dan dipasena menjadi inti. Dengan pola kemitraan, yang pada awalnya dipercaya merupakan solusi tepat untuk mengangkat kasta kaum petambak rakyat itu, terdaftarlah sekitar 9.000 petambak untuk menggarap sekitar 16.500 ha lahan bekas rawa yang dilintasi sungai Mesuji.

Setiap petambak diberi sebuah rumah sederhana lengkap dengan perabotan, dan dua petak tambak dengan luas masing-masing 2.000 m2 (40 m X 50 m). Di luar itu petambak masih memperoleh paket bantuan sembako berupa beras, minyak goreng, minyak tanah, kopi, susu, gula, sabun, dan mi instan. Apa yang diperoleh petambak itu dihitung sebagai utang. Totalnya Rp 135 juta per plasma. Perinciannya: Rp 85 juta untuk kredit investasi berupa fasilitas rumah, tambak, beserta prasarana pendukungnya; dan sebesar Rp 50 juta untuk kredit modal kerja. Semuanya disubstitusikan inti dalam bentuk benur, pakan, dan obat-obatan yang dicicil selama delapan tahun. Cicilan diambil dari 20% tiap hasil penjualan. Setelah itu, tambak akan menjadi milik si plasma.

Namun, sampai 1997 atau pada tahun kesembilan setelah dipasena berdiri, belum satu pun petambak yang dinyatakan telah lunas utangnya. Bahkan jumlah utang kian membengkak, tadinya Rp 135 juta menjadi Rp 300 juta sampai Rp 700 juta. Dalih dipasena sebagai inti saat itu: karena kredit mereka diberikan dalam dolar AS. Petambak menganggap alasan ini mengada-ada. Pasalnya, krisis ekonomi baru terjadi Juli 1997, sedangkan proses pencicilan utang itu sudah mulai sejak 1989. Artinya, ketika krisis tiba, seharusnya utang seluruh petambak sudah lunas.

Tarik-menarik klaim itu tak ada titik temu. Akibatnya, pola inti-plasma hancur. Petambak menuntut dipasena memberi data yang sesungguhnya. Tapi, petambak tak memiliki data acuan lain. Sementara ada gejolak, dipasena tak memasok benur dan pakan. Puluhan pemasok benur dan pakan dari luar mengerubungi Bumi Dipasena.

Ribuan petambak hanya bisa melakukan tebar mandiri. Mereka mengambil barang dari pemasok Baru saat panen dibayar. Sebagian besar petambak tak mampu membayar benur dan pakan lantaran panen tak selalu berhasil. Harga jual pun ditentukan para tengkulak. Kabarnya, kewajiban yang belum dibayar para petambak mencapai Rp 2 miliar.

Lengkap sudah nasib petambak. Rakyat kecil selalu jadi korban.

Catatan: Artikel ini saya tulis di tengah perjalanan dari Lampung ke Jakarta pada akhir Juli 2003. Selama dua hari, saya berburu cerita dari Bandar Lampung sampai di pelosok Dipasena di kabupaten Tulangbawang.

Membangun Pantai Indah dengan Modal Angin

Peluasan pantai indah kapuk terhadang masalah ganti rugi

Setelah 16 tahun tak mendapat ganti rugi, 14 warga penggarap kawasan hutan Angke Kapuk bersengketa dengan pengembang perumahan pantai indah kapuk (PIK), PT Mandara Permai. Warga mengaku punya bukti surat tanah dan bayar pajak. Pihak Mandara menyatakan sudah membayar ke tim 9 (Pemda, Perhutani, BPN).

Bagus Marsudi
--------------------------------------------------------------------------------

Suasana dingin ibu kota pada malam menjelang peringatan kemerdekaan pertengahan Agustus lalu sungguh berbeda dengan suasana di kelurahan Kapuk Muara. Ratusan warga sedang bersitegang, siap perang. Di hadapan mereka, seratusan truk bermuatan tanah siap menguruk hamparan tanah penuh ilalang. Puluhan senjata tajam diacungkan, tinggal menunggu komando perang.

Untunglah ketegangan itu tak menjelma menjadi bentrok fisik. Serombongan orang dari dua belah pihak bersedia berunding. Akhirnya, mereka sepakat untuk menghindari jatuhnya korban. Truk-truk pun diperintahkan mundur. Kendati begitu, warga tetap berjaga-jaga sampai fajar.

Begitulah. Untuk kesekian kalinya usaha PT Mandara Permai untuk meratakan tanah di bagian tenggara kompleks pantai indah kapuk itu gagal. Tanah seluas kurang lebih 70 hektare itu tetap menjadi padang alang-alang. Untuk sesaat, warga pun bisa bernafas lega.

Ketegangan itu bukan sekali dua kali. Sejak 16 tahun lalu, tanah bekas hutan Angke Kapuk itu seolah tidak pernah tenang. Tahun 1984, setelah mendapat lampu hijau dari Departemen Kehutanan dan persetujuan dari Gubernur DKI Jakarta, PT Mandara Permai resmi mengelola kawasan seluas 1.162 hektare ini. Rencana awal, rawa-rawa itu akan disulap sebagai tempat permukiman, pusat bisnis, dan rekreasi. Kabarnya, konsorsium para konglomerat sudah menyediakan dana sekitar Rp 6 triliun untuk mewujudkan mimpi itu.

Namun, sebagian kecil kawasan hutan Angke Kapuk itu ternyata sudah digarap oleh beberapa warga. Konon, tahun 1950-an, Presiden Soekarno memperbolehkan warga untuk membuka daerah hijau itu untuk tanah garapan. Di petak 46, 47, 48, masyarakat telah membuka hutan untuk dijadikan areal tambak udang dan bandeng. Sisanya dipakai untuk pertanian. Dari Perhutani, mereka juga mendapat surat garap dengan kewajiban membayar pajak per tahun.

Nah, sejak ada rencana pembangunan kawasan permukiman baru, warga dilarang mengarap areal itu. Lurah dan camat setempat menginstruksikan bahwa wilayah itu akan dipakai untuk pembangunan. Sebagai kompensasinya, para penggarap dijanjikan mendapat ganti rugi. Untuk mengurusnya, dibentuklah Tim 9 yang terdiri dari aparat pemerintahan, baik itu pemda, Perhutani maupun agraria (BPN). Tim ini melakukan pengukuran tanah dan penyelesaian ganti rugi. Menurut ketentuan, para pemilik surat garap akan mendapat 25% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) waktu itu. Setelah dihitung, warga akan mendapat ganti rugi Rp 1.275 per meter persegi.

Kok, kita enggak kebagian ganti rugi?

Uniknya, di antara puluhan warga penggarap yang mendapat ganti rugi, ada beberapa yang tidak kebagian. Salah satunya adalah keluarga Niing bin Sanip. Mengaku mendapat sekitar 70 hektare dari ayahnya, tanah Niing boleh dibilang tanah garapan terluas di situ. Tahun 1959, Haji Kemed, ayah Niing, mendapat hak garap sekitar 100 hektare areal hutan Angke Kapuk dari Perhutani. "Hutan ini kami tebas untuk membuat empang," kenang Niing. Sejak 27 Juli 1975, Haji Kemed menyerahkan hak garap tanah itu pada Niing. Karena terbentur ketentuan agraria, dua tahun kemudian Niing membagi tanah garapan itu pada keluarganya menjadi 14 surat garap.

Niing heran, keluarganya tak mendapat ganti rugi. "Waktu membuka hutan Angke ini, modal kita bukan angin," sergahnya. Menurut Kusen, bujang Haji Kemed, kepala kuli pelabuhan Tanjung Priok yang cukup disegani waktu itu, tuannya mengerahkan ratusan anak buah untuk membuka hutan. "Saya tahu sendiri, berapa banyak kita harus memberi makan mereka." Tak heran Niing juga boleh membanggakan, "Tempat ini bisa seperti ini karena jasa bapak saya!"

Merasa dirugikan, sejak 1984 Niing mencari keadilan ke banyak pihak. Pada Walikota Jakarta Utara waktu itu, Niing yang mewakili 14 surat garap minta bantuan. "Surat garap saya ini bukan keluar dari tukang sampah atau tukang rumput, tapi dari kantor walikota," ujarnya. Tapi oleh walikota, Niing disarankan ke kantor agraria. Di kantor agraria, Niing diminta mengecek berkas tanah yang sudah diserahkan ke DKI. Payahnya, aparat di sana mengaku tidak tahu-menahu. Niing diminta langsung ke ketua Tim 9 alias walikota. Begitu seterusnya, Niing seolah dipingpong.

Mentok di pemda, tahun 1986 Niing minta tolong Brigjen (Purn) Lukas Kustario, bekas komandannya sewaktu perang kemerdekaan. Mereka bertemu dengan Sudjarwo (menteri kehutanan waktu itu) untuk mengadukan masalah. "Bawa ke sini surat-surat aslinya, insya Allah saya akan bantu," begitu ujar Sudjarwo seperti ditirukan Niing. Tiga hari kemudian, Niing menyerahkan 14 surat garap aslinya. Enny Sulaswati, sekretaris Menteri, menerima berkas itu dan berjanji akan memberikan pada Pak Menteri.

Hari demi hari, minggu ke minggu , bulan ke bulan telah lewat. Tapi tak ada kabar dari Sudjarwo. Niing mulai gelisah. Sampai berganti dua menteri, surat itu tidak jelas nasibnya. Niing mulai meradang. Bersama Lukas, Niing menyatroni kantor menteri. Tahu bahwa ada yang tak beres, menurut Niing, Brigjen Lukas meradang. Sambil menggebrak meja, Lukas berujar, "Ini kantor atau kandang kebo? Kalau kandang kebo kok pegawainya banyak. Kalau kantor, kok dokumen sampai hilang?"

Aparat mengusir warga dengan bedil

Toh, gebrakan itu tak ada hasilnya. Buktinya, bertahun-tahun Niing sekeluarga hidup nelangsa. Sejak Mandara masuk, tambak dan tanah pertaniannya diratakan dengan tanah. Berulang kali dia dan warga lainnya berusaha menghalang-halangi. Menghadapi perlawanan itu, pihak Mandara mengundang aparat koramil dan kodim. "Gimana kami mau melawan? Mereka mengusir kita dengan bedil!" tutur Niing. Warga tak menyerah. Mereka berusaha memasang patok-patok tanah, tapi dilarang oleh aparat dan satpam.

Sikap Mandara yang keras kepala ini dipertanyakan Tasman Gultom, pengacara Niing. Menurutnya, Mandara mengaku telah membebaskan tanah itu dan memasukkannya dalam rencana perluasan Pantai Indah Kapuk. "Secara hukum, pihak Mandara harus menyelesaikan ganti rugi pada para warga yang memiliki surat garap," tegasnya. Tapi tampaknya tuntutan ini tidak digubris Mandara.

Akhir Juni lalu, Tasman melayangkan somasi ke Mandara Permai. Pihak Mandara diminta untuk segera menyelesaikan sengketa tanah ini dengan mengadakan pertemuan segitiga antara eks Tim 9, Mandara, dan warga. Tapi lewat Hargo Mandirahardjo, inhouse lawyer perusahaan, Mandara menyatakan tidak pernah berencana mengadakan pertemuan segi tiga itu. Pasalnya, untuk membebaskan tanah itu, Mandara telah menyelesaikan pembayaran pada Tim 9.

Anehnya, ketika Tasman meminta bukti pembayaran pada pihak Mandara, hal itu sama sekali tidak bisa ditunjukkan. Begitu pula ketika Tasman mengecek ke mantan anggota Tim 9, beberapa memilih diam. Hanya Rimun Raan, bekas anggota tim 9 yang sekarang menjadi Lurah Kapuk Muara berani menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah menerima pembayaran dari Mandara. Niing pun turut mempertanyakan klaim Mandara itu. "Kalau mereka sudah beli ke Tim 9, tunjukkan mana tanah Tim 9 itu? Ini kan tanah garapan saya," ujarnya.

Niing punya bukti kuat bahwa pihaknya punya hak atas tanah itu. Selain memegang salinan surat hak garap yang sudah dilegalisasi, sampai sekarang Niing masih ditagih Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah garapannya. "Kalau mereka mengklaim telah membeli dari Tim 9, bagaimana bisa PBB saya yang bayar?" tanya Niing yang telah menunggak PBB tiga tahun sebesar Rp 28,8 juta lantaran mata pencariannya hilang.

Niing dan warga sekitar sebenarnya sudah tidak sabar. Mereka sudah siap menyerang Mandara. Tapi pihak pengacara berusaha mencari jalan damai. "Hak-hak mereka harus dihormati," ucap Tasman. Tuntutannya sederhana. Pihak Mandara harus membayar ganti rugi pada warga sesuai dengan ketentuan, yaitu 25% dari NJOP sekarang. "NJOP tahun ini Rp 400.000 per meter persegi," ujar Niing. Padahal selama ini Mandara mengekspos bahwa harga tanah di Kapuk Rp 2 juta/meter. Selain itu, Niing menuntut ganti rugi moril dan materil selama 16 tahun terakhir. "Sejak 1984 kami telah banyak dirugikan," ujarnya.

Nyatanya pihak Mandara tak menyerah begitu saja. Hermawi Taslim, pengacara Mandara, masih yakin bahwa tuntutan itu salah alamat. "Itu bukan kewenangan kami. Silakan hubungi Tim 9," ujarnya.

catatan: ini tulisan pertama saya di KONTAN pada 16 Oktober 2000. Tak sampai seminggu setelah tulisan ini diturunkan, pihak pengacara PIK langsung melayangkan surat somasi atas tulisan ini.