27 Juni 2007

Menabur Benur di Dipasena

Tambak dipasena setelah diambil alih BPPN

BPPN memutuskan untuk mengelola sendiri bekas aset Sjamsul Nursalim di Dipasena. Kini sedang dibangun kembali kemitraan plasma dan inti. Bisa jadi dipasena bakal pulih kembali.

Bagus Marsudi
--------------------------------------------------------------------------------

Di siang yang terik menyengat itu Towilun sering mengukir senyum bangga. Tanpa diminta, dia melempar jaring ke tambak udang yang dikelolanya. Segerombolan udang berhasil didapatkan. Dengan hati-hati, dia tunjukkan beberapa contoh si bongkok hasil jerih payahnya satu setengah bulan terakhir. Yang melihat tak henti memuji udang Towilun. Beberapa malah mengungkapkan keyakinannya bahwa dua bulan lagi Towilun bakal panen besar.

Towilun hanyalah satu di antara sekitar 1.700 petambak dari dua desa di Bumi Dipasena, Lampung, yang sejak Juni lalu menyepakati program kemitraan praintensif antara petambak sebagai plasma dan dipasena Citra Darmaja sebagai inti. Ini tahap baru hubungan petambak dan dipasena setelah selama lima tahun terakhir seolah tak ada titik temu. Untuk tahap awal, dua desa akan menjadi proyek percontohan. Enam desa lain menyusul berikutnya.

Langkah ini tak lepas dari peran pemerintah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sesuai dengan keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Maret 2001, pemerintah sepakat merestrukturisasi kredit petambak udang dan berusaha merehabilitasi kondisi Dipasena. Salah satunya adalah menghidupkan kembali pola kemitraan antara plasma dan inti dengan paradigma lebih gres.

Apakah BPPN sudah menjadi juragan tambak? Secara teori: ya. BPPN mengelola bekas aset Sjamsul Nursalim lewat perusahaan Tunas Sepadan Investama. Pengelola tambak udang yang disebut-sebut sebagai terbesar di Asia Tenggara itu rencananya bakal dijual. Tapi, "Kondisinya belum memungkinkan. Bisa jadi tak ada investor yang mau masuk," ungkap Franklin Richard, Kepala Humas BPPN.

Kunci untuk memulihkan kondisi areal tambak seluas 16.250 ha ini, ujar Franklin, adalah merestrukturisasi utang petambak dari bank asal (BDNI). Bersamaan dengan itu, dibuatlah sistem kemitraan plasma dan inti yang didasarkan pada prinsip transparansi. "Kita ingin ada aktivitas pertambakan di sana," tandasnya. Dengan melihat potensi yang besar, dipasena bakal dilirik lembaga keuangan dan investor.

Inti tak lagi bisa menentukan harga

Banyak kepentingan di balik pulihnya Dipasena. Pemerintah berharap bisa menjual dipasena suatu hari nanti dengan harga tinggi. Setelah lima tahunan melepas ikatan dengan inti, petambak pun butuh modal kerja untuk menambak. Jika petambak kembali menjalin kemitraan plasma inti, dipasena bisa memaksimalkan infrastruktur pengolahan udang terpadu.

Asal tahu saja, di Bumi dipasena ada fasilitas lengkap untuk pertambakan. Mulai dari produksi benur, pabrik pakan, jasa pengerukan kanal, cold storage, sampai kapal angkut peti kemas untuk ekspor ke Singapura. "Lima tahun terakhir kapasitas yang ada tak bisa digunakan secara maksimal," kata Agus Tito, Manajer Humas Dipasena. Sementara tak ada udang dari plasma, fasilitas itu dipakai untuk mengolah udang produksi PT Wachyuni Mandira, tetangganya.

Nah, untuk menggerakkan aktivitas Dipasena, kedua pihak sepakat membangun pola baru kemitraan inti dan plasma. Pola ini berbeda dengan pola lama yang dijalankan sampai 1997. Saat itu peran inti terlalu kuat. Pasalnya, inti mengambil peran dominan, mulai dari awal proses penyebaran benur sampai penjualan udang. Plasma tak diikutsertakan dalam semua proses itu, kecuali memelihara udang di tambak.

Dalam pola baru, semua yang menyangkut proses pertambakan melibatkan baik plasma dan inti. Prinsip transparansi, saling percaya, tanpa saling merugikan mendasari hubungan kemitraan ini. Inti diwakili kelompok kerja (pokja) yang bertanggung jawab langsung ke direksi. Petambak diwakili manajemen plasma yang menjadi bagian dari struktur desa. "Posisi antara inti dan plasma setara," ungkap Towilun, yang juga Sekretaris Manajemen Plasma Desa Utama.

Langkah awal yang kini sedang dibangun pokja dan manajemen plasma adalah menjalankan tahap praintensif. "Dua tahun ini kami menyiapkan pola kerja sama yang intensif," kata Andi Wijaya, Ketua Pokja. Maklum, lima tahun terakhir pengelolaan tambak tak terkoordinasi. Petambak membeli benur, pakan dari luar, dan hasil panen dibeli orang luar. Nah, pola ekstensif ini bakal dikembalikan pada pola intensif.

Dalam tahap ini, disepakati petambak bakal mendapatkan modal usaha untuk operasi tambak. Selain untuk modal kerja, petambak juga mendapatkan biaya hidup bulanan plasma (BHBP). Pengembaliannya bakal dilunasi setelah penjualan hasil udang. Sementara ini, pemeliharaan udang masih memakai cara ekstensif, menunggu kucuran dana untuk perbaikan kicir angin, dan pompa air.

Setelah meneken perjanjian kerja sama yang materinya sudah disepakati bersama, petambak akan mendapat 15.000 ekor benur berumur 36-45 hari seharga Rp 35 per benur untuk tiap tambak seukuran 40 m X 50 m. Harga pakan dan biaya operasional (listrik, perbaikan kanal, pintu dam, dan tower air) disepakati maksimal Rp 150.000 per bulan. Untuk BHPB, tiap plasma mendapat Rp 650.000 per bulan yang bakal diperhitungkan saat panen.

Semua kebijakan dari inti yang menyangkut petambak dibicarakan bersama dengan manajemen plasma. Bahkan, pasokan benur dan pakan ke petambak mesti sepengetahuan manajemen plasma. Tujuannya, data kewajiban plasma tak cuma dipegang inti. "Kami sendiri punya data yang sewaktu-waktu bisa dicek silang," ungkap Waras, salah seorang petambak. Tiap petambak dan manajemen plasma punya laporan tentang kewajiban dan hasil panen yang didapat.

Bagaimana kalau terjadi silang pendapat yang tak ada titik temu? Menurut Suprapto, Ketua Badan Pertimbangan Kampung Utama, tiap pihak sekarang tak bisa mau menang sendiri. "Kami sadar bahwa satu sama lain saling membutuhkan. Kalau petambak gagal, inti juga rugi," katanya. Makanya, dalam pembicaraan, tiap pihak saling menunjukkan kondisi yang sesungguhnya. Bahkan, menurut Andi, petambak kini tahu secara telanjang hitung-hitungan produksi benur, pakan, sampai penjualan.

Dari pengamatan KONTAN di lapangan, pola kemitraan ini ditanggapi antusias oleh sebagian besar petambak. Pasalnya, mereka punya persoalan yang sama: tak punya modal kerja untuk menambak maupun memelihara sarana pertambakan. Misalnya, mendapat benur dan pakan bagus dan mengeruk kanal. Dengan harapan besar, mereka menyambut baik kemitraan setara yang didorong juga oleh pemerintah.

Akankah Bumi dipasena semeriah dahulu? Waktulah yang bakal menunjukkan.

+++++
Hidup Prihatin selama Sewindu

Tak banyak yang tahu, di pelosok Lampung Timur berkembang satu komunitas seramai kota kecil. Di Rawa Jitu, daerah yang diampit sungai Tulangbawang dan Mesuji, berdiri megah permukiman, pabrik, kantor, dan pertambakan yang luasnya puluhan ribu hektare. Aliran listrik belum masuk ke kampung sekitarnya, tapi Bumi dipasena tak pernah gelap gulita. Ada generator yang menerangi daerah sekitar 90 km dari jalur lintas timur Sumatera ke arah Laut Jawa.

Secara historis dipasena masuk Rawajitu Selatan tahun 1988. Setahun kemudian, pertambakan udang yang disebut sebagai terbesar di Asia Tenggara itu mulai beroperasi dengan pola tambak inti rakyat (TIR). Petambak jadi plasma dan dipasena menjadi inti. Dengan pola kemitraan, yang pada awalnya dipercaya merupakan solusi tepat untuk mengangkat kasta kaum petambak rakyat itu, terdaftarlah sekitar 9.000 petambak untuk menggarap sekitar 16.500 ha lahan bekas rawa yang dilintasi sungai Mesuji.

Setiap petambak diberi sebuah rumah sederhana lengkap dengan perabotan, dan dua petak tambak dengan luas masing-masing 2.000 m2 (40 m X 50 m). Di luar itu petambak masih memperoleh paket bantuan sembako berupa beras, minyak goreng, minyak tanah, kopi, susu, gula, sabun, dan mi instan. Apa yang diperoleh petambak itu dihitung sebagai utang. Totalnya Rp 135 juta per plasma. Perinciannya: Rp 85 juta untuk kredit investasi berupa fasilitas rumah, tambak, beserta prasarana pendukungnya; dan sebesar Rp 50 juta untuk kredit modal kerja. Semuanya disubstitusikan inti dalam bentuk benur, pakan, dan obat-obatan yang dicicil selama delapan tahun. Cicilan diambil dari 20% tiap hasil penjualan. Setelah itu, tambak akan menjadi milik si plasma.

Namun, sampai 1997 atau pada tahun kesembilan setelah dipasena berdiri, belum satu pun petambak yang dinyatakan telah lunas utangnya. Bahkan jumlah utang kian membengkak, tadinya Rp 135 juta menjadi Rp 300 juta sampai Rp 700 juta. Dalih dipasena sebagai inti saat itu: karena kredit mereka diberikan dalam dolar AS. Petambak menganggap alasan ini mengada-ada. Pasalnya, krisis ekonomi baru terjadi Juli 1997, sedangkan proses pencicilan utang itu sudah mulai sejak 1989. Artinya, ketika krisis tiba, seharusnya utang seluruh petambak sudah lunas.

Tarik-menarik klaim itu tak ada titik temu. Akibatnya, pola inti-plasma hancur. Petambak menuntut dipasena memberi data yang sesungguhnya. Tapi, petambak tak memiliki data acuan lain. Sementara ada gejolak, dipasena tak memasok benur dan pakan. Puluhan pemasok benur dan pakan dari luar mengerubungi Bumi Dipasena.

Ribuan petambak hanya bisa melakukan tebar mandiri. Mereka mengambil barang dari pemasok Baru saat panen dibayar. Sebagian besar petambak tak mampu membayar benur dan pakan lantaran panen tak selalu berhasil. Harga jual pun ditentukan para tengkulak. Kabarnya, kewajiban yang belum dibayar para petambak mencapai Rp 2 miliar.

Lengkap sudah nasib petambak. Rakyat kecil selalu jadi korban.

Catatan: Artikel ini saya tulis di tengah perjalanan dari Lampung ke Jakarta pada akhir Juli 2003. Selama dua hari, saya berburu cerita dari Bandar Lampung sampai di pelosok Dipasena di kabupaten Tulangbawang.

Tidak ada komentar: