27 Juni 2007

Membangun Pantai Indah dengan Modal Angin

Peluasan pantai indah kapuk terhadang masalah ganti rugi

Setelah 16 tahun tak mendapat ganti rugi, 14 warga penggarap kawasan hutan Angke Kapuk bersengketa dengan pengembang perumahan pantai indah kapuk (PIK), PT Mandara Permai. Warga mengaku punya bukti surat tanah dan bayar pajak. Pihak Mandara menyatakan sudah membayar ke tim 9 (Pemda, Perhutani, BPN).

Bagus Marsudi
--------------------------------------------------------------------------------

Suasana dingin ibu kota pada malam menjelang peringatan kemerdekaan pertengahan Agustus lalu sungguh berbeda dengan suasana di kelurahan Kapuk Muara. Ratusan warga sedang bersitegang, siap perang. Di hadapan mereka, seratusan truk bermuatan tanah siap menguruk hamparan tanah penuh ilalang. Puluhan senjata tajam diacungkan, tinggal menunggu komando perang.

Untunglah ketegangan itu tak menjelma menjadi bentrok fisik. Serombongan orang dari dua belah pihak bersedia berunding. Akhirnya, mereka sepakat untuk menghindari jatuhnya korban. Truk-truk pun diperintahkan mundur. Kendati begitu, warga tetap berjaga-jaga sampai fajar.

Begitulah. Untuk kesekian kalinya usaha PT Mandara Permai untuk meratakan tanah di bagian tenggara kompleks pantai indah kapuk itu gagal. Tanah seluas kurang lebih 70 hektare itu tetap menjadi padang alang-alang. Untuk sesaat, warga pun bisa bernafas lega.

Ketegangan itu bukan sekali dua kali. Sejak 16 tahun lalu, tanah bekas hutan Angke Kapuk itu seolah tidak pernah tenang. Tahun 1984, setelah mendapat lampu hijau dari Departemen Kehutanan dan persetujuan dari Gubernur DKI Jakarta, PT Mandara Permai resmi mengelola kawasan seluas 1.162 hektare ini. Rencana awal, rawa-rawa itu akan disulap sebagai tempat permukiman, pusat bisnis, dan rekreasi. Kabarnya, konsorsium para konglomerat sudah menyediakan dana sekitar Rp 6 triliun untuk mewujudkan mimpi itu.

Namun, sebagian kecil kawasan hutan Angke Kapuk itu ternyata sudah digarap oleh beberapa warga. Konon, tahun 1950-an, Presiden Soekarno memperbolehkan warga untuk membuka daerah hijau itu untuk tanah garapan. Di petak 46, 47, 48, masyarakat telah membuka hutan untuk dijadikan areal tambak udang dan bandeng. Sisanya dipakai untuk pertanian. Dari Perhutani, mereka juga mendapat surat garap dengan kewajiban membayar pajak per tahun.

Nah, sejak ada rencana pembangunan kawasan permukiman baru, warga dilarang mengarap areal itu. Lurah dan camat setempat menginstruksikan bahwa wilayah itu akan dipakai untuk pembangunan. Sebagai kompensasinya, para penggarap dijanjikan mendapat ganti rugi. Untuk mengurusnya, dibentuklah Tim 9 yang terdiri dari aparat pemerintahan, baik itu pemda, Perhutani maupun agraria (BPN). Tim ini melakukan pengukuran tanah dan penyelesaian ganti rugi. Menurut ketentuan, para pemilik surat garap akan mendapat 25% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) waktu itu. Setelah dihitung, warga akan mendapat ganti rugi Rp 1.275 per meter persegi.

Kok, kita enggak kebagian ganti rugi?

Uniknya, di antara puluhan warga penggarap yang mendapat ganti rugi, ada beberapa yang tidak kebagian. Salah satunya adalah keluarga Niing bin Sanip. Mengaku mendapat sekitar 70 hektare dari ayahnya, tanah Niing boleh dibilang tanah garapan terluas di situ. Tahun 1959, Haji Kemed, ayah Niing, mendapat hak garap sekitar 100 hektare areal hutan Angke Kapuk dari Perhutani. "Hutan ini kami tebas untuk membuat empang," kenang Niing. Sejak 27 Juli 1975, Haji Kemed menyerahkan hak garap tanah itu pada Niing. Karena terbentur ketentuan agraria, dua tahun kemudian Niing membagi tanah garapan itu pada keluarganya menjadi 14 surat garap.

Niing heran, keluarganya tak mendapat ganti rugi. "Waktu membuka hutan Angke ini, modal kita bukan angin," sergahnya. Menurut Kusen, bujang Haji Kemed, kepala kuli pelabuhan Tanjung Priok yang cukup disegani waktu itu, tuannya mengerahkan ratusan anak buah untuk membuka hutan. "Saya tahu sendiri, berapa banyak kita harus memberi makan mereka." Tak heran Niing juga boleh membanggakan, "Tempat ini bisa seperti ini karena jasa bapak saya!"

Merasa dirugikan, sejak 1984 Niing mencari keadilan ke banyak pihak. Pada Walikota Jakarta Utara waktu itu, Niing yang mewakili 14 surat garap minta bantuan. "Surat garap saya ini bukan keluar dari tukang sampah atau tukang rumput, tapi dari kantor walikota," ujarnya. Tapi oleh walikota, Niing disarankan ke kantor agraria. Di kantor agraria, Niing diminta mengecek berkas tanah yang sudah diserahkan ke DKI. Payahnya, aparat di sana mengaku tidak tahu-menahu. Niing diminta langsung ke ketua Tim 9 alias walikota. Begitu seterusnya, Niing seolah dipingpong.

Mentok di pemda, tahun 1986 Niing minta tolong Brigjen (Purn) Lukas Kustario, bekas komandannya sewaktu perang kemerdekaan. Mereka bertemu dengan Sudjarwo (menteri kehutanan waktu itu) untuk mengadukan masalah. "Bawa ke sini surat-surat aslinya, insya Allah saya akan bantu," begitu ujar Sudjarwo seperti ditirukan Niing. Tiga hari kemudian, Niing menyerahkan 14 surat garap aslinya. Enny Sulaswati, sekretaris Menteri, menerima berkas itu dan berjanji akan memberikan pada Pak Menteri.

Hari demi hari, minggu ke minggu , bulan ke bulan telah lewat. Tapi tak ada kabar dari Sudjarwo. Niing mulai gelisah. Sampai berganti dua menteri, surat itu tidak jelas nasibnya. Niing mulai meradang. Bersama Lukas, Niing menyatroni kantor menteri. Tahu bahwa ada yang tak beres, menurut Niing, Brigjen Lukas meradang. Sambil menggebrak meja, Lukas berujar, "Ini kantor atau kandang kebo? Kalau kandang kebo kok pegawainya banyak. Kalau kantor, kok dokumen sampai hilang?"

Aparat mengusir warga dengan bedil

Toh, gebrakan itu tak ada hasilnya. Buktinya, bertahun-tahun Niing sekeluarga hidup nelangsa. Sejak Mandara masuk, tambak dan tanah pertaniannya diratakan dengan tanah. Berulang kali dia dan warga lainnya berusaha menghalang-halangi. Menghadapi perlawanan itu, pihak Mandara mengundang aparat koramil dan kodim. "Gimana kami mau melawan? Mereka mengusir kita dengan bedil!" tutur Niing. Warga tak menyerah. Mereka berusaha memasang patok-patok tanah, tapi dilarang oleh aparat dan satpam.

Sikap Mandara yang keras kepala ini dipertanyakan Tasman Gultom, pengacara Niing. Menurutnya, Mandara mengaku telah membebaskan tanah itu dan memasukkannya dalam rencana perluasan Pantai Indah Kapuk. "Secara hukum, pihak Mandara harus menyelesaikan ganti rugi pada para warga yang memiliki surat garap," tegasnya. Tapi tampaknya tuntutan ini tidak digubris Mandara.

Akhir Juni lalu, Tasman melayangkan somasi ke Mandara Permai. Pihak Mandara diminta untuk segera menyelesaikan sengketa tanah ini dengan mengadakan pertemuan segitiga antara eks Tim 9, Mandara, dan warga. Tapi lewat Hargo Mandirahardjo, inhouse lawyer perusahaan, Mandara menyatakan tidak pernah berencana mengadakan pertemuan segi tiga itu. Pasalnya, untuk membebaskan tanah itu, Mandara telah menyelesaikan pembayaran pada Tim 9.

Anehnya, ketika Tasman meminta bukti pembayaran pada pihak Mandara, hal itu sama sekali tidak bisa ditunjukkan. Begitu pula ketika Tasman mengecek ke mantan anggota Tim 9, beberapa memilih diam. Hanya Rimun Raan, bekas anggota tim 9 yang sekarang menjadi Lurah Kapuk Muara berani menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah menerima pembayaran dari Mandara. Niing pun turut mempertanyakan klaim Mandara itu. "Kalau mereka sudah beli ke Tim 9, tunjukkan mana tanah Tim 9 itu? Ini kan tanah garapan saya," ujarnya.

Niing punya bukti kuat bahwa pihaknya punya hak atas tanah itu. Selain memegang salinan surat hak garap yang sudah dilegalisasi, sampai sekarang Niing masih ditagih Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah garapannya. "Kalau mereka mengklaim telah membeli dari Tim 9, bagaimana bisa PBB saya yang bayar?" tanya Niing yang telah menunggak PBB tiga tahun sebesar Rp 28,8 juta lantaran mata pencariannya hilang.

Niing dan warga sekitar sebenarnya sudah tidak sabar. Mereka sudah siap menyerang Mandara. Tapi pihak pengacara berusaha mencari jalan damai. "Hak-hak mereka harus dihormati," ucap Tasman. Tuntutannya sederhana. Pihak Mandara harus membayar ganti rugi pada warga sesuai dengan ketentuan, yaitu 25% dari NJOP sekarang. "NJOP tahun ini Rp 400.000 per meter persegi," ujar Niing. Padahal selama ini Mandara mengekspos bahwa harga tanah di Kapuk Rp 2 juta/meter. Selain itu, Niing menuntut ganti rugi moril dan materil selama 16 tahun terakhir. "Sejak 1984 kami telah banyak dirugikan," ujarnya.

Nyatanya pihak Mandara tak menyerah begitu saja. Hermawi Taslim, pengacara Mandara, masih yakin bahwa tuntutan itu salah alamat. "Itu bukan kewenangan kami. Silakan hubungi Tim 9," ujarnya.

catatan: ini tulisan pertama saya di KONTAN pada 16 Oktober 2000. Tak sampai seminggu setelah tulisan ini diturunkan, pihak pengacara PIK langsung melayangkan surat somasi atas tulisan ini.

Tidak ada komentar: