27 Juni 2007

Kabar Angin dari Kediri

Di balik rumor penjualan Gudang Garam

Meski belum terbukti kebenarannya, kabar penjualan Gudang Garam ke BAT bukan tanpa alasan. Lantaran bisnis rokok mulai meredup atau imbas perpecahan keluarga?

Bagus Marsudi
--------------------------------------------------------------------------------

Berita penjualan perusahaan rokok HM sampoerna ke tangan Philip Morris, dua tahun silam, rasanya belum meredup. Sampai sekarang, banyak orang masih penasaran ke mana keluarga sampoerna menaruh uang hasil penjualan sebesar Rp 18,6 triliun. Nah, pekan lalu ada berita serupa yang tak kalah bikin heboh, datang dari Gudang Garam. Rumor di pasar modal menyebutkan: perusahaan rokok keretek terbesar di Indonesia itu telah beralih tangan dari keluarga Wonowidjojo ke British American Tobacco (BAT), raksasa rokok putih dunia asal Inggris.

Namanya juga rumor. Tak jelas asalnya. Tapi kabar ini berimbas pada perdagangan saham di bursa. Setelah bertahan di harga Rp 9.200-Rp 9.400 per saham, dua pekan lalu, harga saham Gudang Garam menanjak jadi Rp 9.850 per saham (21/7). Tiga hari kemudian, harganya anjlok lagi ke kisaran Rp 9.200. Dan Selasa 8 Agustus lalu, harganya turun lagi jadi Rp 9.100 persaham. Entahlah, apakah ini hanyalah aksi gorengan sesaat ataukah membuktikan bahwa rumor itu memang sekadar angin lalu. (Lihat juga halaman 11 tentang kinerja saham Gudang Garam)

Pada paparan publik akhir Juli 2006, manajemen Gudang Garam sebetulnya sudah resmi membantah rumor itu. "Hingga saat ini, kami tidak tahu-menahu mengenai rencana penjualan perseroan," begitu penjelasan Heru Budiman, Direktur dan Sekretaris Perusahaan Gudang Garam. Tapi, bisa jadi orang menginterpretasikan, manajemen boleh saja tak tahu menahu, sementara para pemegang saham kan bisa saja terus berunding.

Walhasil, selentingan penjualan Gudang Garam tetap berembus. Kali ini spekulasi orang tertuju pada kinerja Gudang Garam yang tak semencorong sebelumnya. Pada semester pertama tahun ini, penjualan Gudang Garam anjlok, hanya mencapai Rp 12,7 triliun, lebih rendah 12% ketimbang periode yang sama tahun lalu. Dengan angka tersebut, target penjualan tahun ini diperkirakan bakal berkutat di sekitar angka perolehan tahun lalu, sebesar Rp 24,8 triliun.

Memang, terlalu dini untuk bilang tahun ini Gudang Garam bakal rugi. Tapi, hampir pasti, keuntungannya akan turun. Apalagi, Gudang Garam mengeluhkan beban komponen pita cukai yang mencapai kenaikan 10,2% ketimbang tahun lalu. Jika tahun 2005, Gudang membayar pita cukai sebesar Rp 6,978 triliun, semester ini saja pengeluarannya sudah bengkak menjadi Rp 7,698 triliun. Kalau dihitung, komponen pita cukai dan pajak pertambahan nilai (PPN) yang harus dibayar Gudang Garam mencapai 74,9% dari total omzetnya.

Sebenarnya, kemerosotan penjualan rokok tak cuma dialami oleh Gudang Garam. Data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Seluruh Indonesia (GAPPRI) menyebutkan, secara nasional penjualan secara nasional pada semester I 2006 ini memang 12% lebih rendah ketimbang semester pertama tahun lalu. Celakanya, sejak Desember lalu, pangsa pasar Gudang Garam turun dari 30% menjadi 29,5%.

Pasar rokok Indonesia jadi incaran

Merosotnya kinerja Gudang Garam, apalagi lantaran pasarnya digerogoti oleh para pesaing, menimbulkan spekulasi keluarga Wonowidjojo sudah capek mengurusi Gudang Garam. Hal ini memperkuat isu penjualan Gudang Garam.

Penelusuran KONTAN dari lingkaran industri rokok tak mendapatkan titik cerah. Wadah yang menaungi industri rokok tak mendengar kabar ini. Muhaimin Moefti, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), meragukan kabar BAT bakal masuk Gudang Garam. "Dalam kondisi sekarang ini, mustahil BAT melakukan langkah itu," ujar Muhaimin yang mantan Komisaris BAT Indonesia itu. Apalagi, tandasnya, karakteristik BAT sangat beda dengan pesaing abadinya, Philip Morris, yang lebih dulu mencaplok HM Sampoerna.

Namun, tak bisa disangkal, kemungkinan masuknya investor asing ke industri rokok tetap terbuka. Dengan pasar rokok Indonesia yang unik, Muhaimin meyakini bahwa pabrikan rokok di Indonesia tetap jadi sasaran incaran. Dari pengalaman bertahun-tahun di industri rokok putih, pabrikan rokok sekelas BAT dan Philip Morris selalu gagal menguasai pasar rokok nasional. "Akhirnya mereka sadar, cara menguasai pasar Indonesia adalah dengan masuk ke rokok keretek," tuturnya.

Masalahnya, untuk menguasai pasar, mesti mencari sasaran yang pas. Ini yang susah. Maklum, selain padat karya, industri rokok keretek umumnya merupakan bisnis keluarga. Kendati sudah berstatus perusahaan terbuka, pengelolaannya masih bersifat kekeluargaan. Masih untung Philip Morris, ketika memilih HM Sampoerna, mengaku cocok dengan manajemen modern yang sudah diterapkan Putra Sampoerna. Nah, sebagian besar pabrik keretek umumnya bertahan pada manajemen tradisional keluarga yang cenderung tertutup.

Dus, sebagai penguasa pasar rokok keretek di Indonesia, Gudang Garam termasuk sasaran empuk investor yang ingin menguasai pasar rokok di Indonesia. Cuma, apakah keluarga Wonowidjojo berani melepas bisnis yang menjadi pusaka keluarga? Muhaimin tak yakin jika Gudang Garam bakal dilepas begitu saja. "Selama ini mereka selalu untung," ujarnya. Kecuali kalau ada faktor X. Nah, untuk saat ini, faktor itu masih tergolong misteri.

+++++
Redupnya Generasi Kedua

Kalau tidak ada Gudang Garam, Kediri gelap dan tidak punya pamor. Itulah keyakinan sebagian besar penduduk Kediri sampai sekarang. Bekas pusat kerajaan Hindu Kuno ini memang tidak termasuk jalur utama kota-kota besar di Jawa Timur. Kalaupun mesti lewat Kediri, itu lantaran harus memotong jalan dari Nganjuk ke Trenggalek. Tapi, berkat Surya Wonowidjojo atau Tjoa Ing Hwie, Kediri menjadi salah satu kota penting di Jawa Timur saat ini. Selain itu, napas sebagian warganya bergantung pada perusahaannya: pabrik rokok Gudang Garam.

Tjoa Ing Hwie dibawa ayahnya dari Fukien, Tiongkok, ke Madura ketika berumur tiga tahun. Ditinggal mati sang ayah, masa mudanya dihinggapi kesengsaraan. Awalnya, ia bekerja di pabrik rokok "93" milik pamannya. Lantas, dengan sedikit modal dari hasil kerja kerasnya, Surya mendirikan pabrik rokok keretek Gudang Garam. Berkat keuletannya, Gudang Garam berkembang menjadi perusahaan rokok terbesar di Indonesia dan menyumbang lebih dari seperempat pendapatan cukai pemerintah.

Setelah meninggal pada Agustus 1985, estafet kepemimpinan perusahaan keluarga diserahkan pada Rachman Halim, sang sulung. Di tangan generasi kedua ini, kejayaan Gudang Garam berlanjut. Keluarga Wonowidjojo bergelimang kekayaan. Mereka pun beberapa kali menjadi pembayar pajak pribadi terbesar di Indonesia. Padahal, Surya dulu dikenal sebagai tauke bersahaja dan dermawan kepada buruh.

Belakangan malah santer terdengar terjadi perpecahan dalam keluarga Wonowidjojo. Dua adik Rachman, Sumarto dan Susilo, kabarnya tak akur sama sang kakak. Padahal, mereka sama-sama memegang posisi penting dalam manajemen perusahaan. Entahlah, apa yang jadi biang persoalan.

Yang terang, dibandingkan dengan pesaingnya, keluarga Wonowidjojo termasuk kurang ekspansif mengembangkan bisnis baru di luar rokok. Lihat saja jejak bisnis keluarga sampoerna dan keluarga Hartono (Djarum) di berbagai sektor.

Sebenarnya, lima tahun silam, Gudang Garam pernah mau ekspansi ke produk rokok putih dan mild. Mereka sudah menyiapkan alat modern di pabrik barunya di Pasuruan. Untuk memproduksi rokok putih, Gudang Garam menggandeng produsen rokok terbesar keempat sedunia dari Jerman, Reemtsma Cigarettenfabriken GmbH, pemilik pabrik Davidoff. Tapi, rencana itu gagal di tengah jalan lantaran sengketa merek. Sebagai gantinya, Gudang Garam mengeluarkan mild Nusantara. Tapi, penjualannya tidak memuaskan.

Inikah tanda-tanda meredupnya generasi kedua keluarga Wonowidjojo?

Catatan: Tulisan yang terbit 14 Agustus 2006 ini berusaha menjawab rumor kencang akuisisi terhadap pabrik rokok terbesar di Indonesia. Sampai saat ini memang rumor itu belum terbukti.

Tidak ada komentar: